Reflection of Grieving
You’ll never truly understand marriages, divorces, anxieties, childbirth, death of a loved one, and parenting until it actually happens to you.
Theories and assumptions of situations in life are not realities.
You think you are smarter than most.
Until life humbles you when it’s your turn.
...
Sebuah quote anonim yang saya ambil dari sebuah post di facebook, singkat tetapi cukup deep.
Kali ini saya ingin sedikit berbagi mengenai berduka. Bukan tips atau pedoman atau semacam how to survive melewati fase berduka, melainkan sharing pengalaman saja, barangkali ada yang memiliki pengalaman serupa.
2 hari lalu, seorang sahabat dekat suami saya meninggal setelah beberapa bulan fight dengan penyakit yang dideritanya. May his beautiful soul rest in peace. Seorang sahabat yang sudah seperti saudara sendiri, selalu berbagi suka duka selama 18 tahun terakhir perjalanan hidupnya. Ketika mendapat kabar kepergiannya, saya sedikit banyak bisa memahami jika bagi suami saya langit serasa runtuh saat itu juga. Kabar itu datang melalui telepon dari salah seorang teman jam 3 dini hari, posisi kami masih di Jakarta, 500 kilometer jauhnya dari Jogja. Perasaan kaget, sedih, kalut, dan bingung pasti berkecamuk dalam kepala suami saya, ditambah dengan penyesalan tidak hadir di saat-saat terakhir sahabatnya.
Hari ini saya baru berkesempatan untuk ngobrol lebih panjang dengan suami saya mengenai rasa dukanya, yang kemudian memantik saya untuk memikirkan lagi jauh lebih dalam mengenai duka. Memanggil kembali memori mengenai duka yang juga pernah saya alami selepas kepergian Bapak saya. Dan, seperti yang sudah dituliskan dalam kutipan anonim tadi, duka pasca kehilangan seseorang yang sangat dekat dengan kita itu rumit. Walaupun sudah ada manual book-nya, sudah membaca dan memahami sampai nglothok teori 5 stages of grieving sekalipun, kita tidak akan pernah benar-benar siap ketika akhirnya harus mengalaminya.
Memang, dengan adanya teori 5 stages of grieving, kita bisa tahu bahwa apa-apa yang kita rasakan selama memproses rasa duka itu memang umum terjadi. Dan wajar. Wong Namanya juga manusia. Yang kita tidak tahu dan nyaris tidak bisa kita petakan adalah timeline kita. Sampai kapan akan berduka? Perlu berapa lama untuk move on dari denial, anger, bargaining, depression, sampai akhirnya sampai kepada acceptance? Setiap orang pasti perlu waktu yang berbeda-beda, karena pastinya sangat dipengaruhi oleh kondisi mental dan lingkungan kita.
Dari pengalaman saya memproses duka saya kehilangan Bapak, fase-fase berduka itu tidak pernah secara rigid berdiri sendiri dalam satu waktu. Kecuali fase denial. Penyangkalan saya terhadap kondisi Bapak saya sudah lebih dulu muncul, yaitu ketika diagnosa penyakit Bapak ditegakkan sampai sepanjang waktu setelahnya hingga hari kepergiannya. Saya terus menyangkal bahwa kondisi Bapak tidak mungkin separah itu, dan everything is gonna be just alright. Karena saya merasa saya sangat mengenal Bapak saya yang selalu kuat, selalu tangguh, tidak mungkin hal buruk akan menimpanya dalam waktu dekat. Tapi nyatanya, akhirnya life humbles me down. Bapak saya akhirnya pergi di tengah penyangkalan saya atas kondisinya; sebuah pukulan telak yang langsung mengantarkan saya masuk ke fase anger dengan begitu ugal-ugalan. Saya marah terhadap apapun yang ada saat itu juga. Terhadap diri saya yang tidak pernah ‘hadir’ dan selalu menyangkal sampai akhirnya hal buruk benar-benar terjadi dan sudah terlalu terlambat untuk mengembalikan semuanya. Terhadap ibu saya yang dari kacamata kemarahan saya, tidak mau mengusahakan lebih demi orang terkasihnya. Terhadap kakak saya yang menghilang tanpa kabar berita dan hanya menyisakan segunung permasalahan yang nyaris tidak ada solusinya. Terhadap keadaan, yang dengan sangat licik menjebak saya di saat samasekali tidak ada yang bisa saya jadikan sandaran. Di saat yang nyaris sama, saya berandai-andai: seandainya saya tidak menyangkal, seandainya saya bisa selalu hadir, pasti hal seperti ini tidak akan sampai kejadian. Kemudian mulai menyalahkan diri sendiri oleh ‘seandainya-seandainya’ yang tidak saya lakukan itu. Semua itu berkecamuk dan bercampur aduk dalam pikiran saya selama bertahun-tahun lamanya. Menyisakan tanda tanya dan kebingungan mengenai apa yang seharusnya saya pikirkan, apa yang boleh saya rasakan.
Lebih dari satu dekade setelahnya baru saya paham, bahwa memproses duka bukan mengenai apa yang harus dan apa yang boleh saya rasakan selama jangka waktu tertentu, tetapi bagaimana saya bisa tetap hidup sambil berdampingan dengan perasaan-perasaan itu. Tidak ada batasan yang jelas berapa lama waktu yang saya butuhkan untuk akhirnya bisa sampai pada fase penerimaan. Karena nyatanya, ada luka yang tidak pernah hilang bahkan hingga sekarang. Di saat-saat tertentu, perasaan marah dan depresi masih datang sesekali, seperti tamu tak diundang yang tiba tanpa mengenal batas sopan. Waktu tidak pernah benar-benar menyembuhkan, hanya sedikit membuat lebih tidak rentan. Bayangan rasa sakit yang dirasakan oleh orang yang kita sayangi di saat-saat terakhirnya pun masih akan menghantui sebagai mimpi buruk bahkan di siang hari saat kita terjaga. Membimbing kita menuju perasaan bersalah tanpa ujung dan pertanyaan “Kenapa kemarin aku nggak benar-benar hadir di saat-saat terburuknya?”. Rupanya semua itu wajar, sebagai bagian dari hidup kita yang mau tidak mau hanya bisa kita jalani dengan penuh kesadaran. Bagi saya, yang bisa menjadi penawar hanyalah rasa legowo kita untuk mau memaafkan diri sendiri atas kesempatan-kesempatan yang telah hilang, yang didasarkan pada rasa humble terhadap alam semesta: bahwa kita hanya manusia biasa, makhluk yang sering merasa dirinya superior atas segala sesuatu, padahal nyatanya sebagian besar hal di dunia ini ada diluar kendali kita. And for the last, take our time meskipun sekali lagi, waktu tidak akan pernah bisa benar-benar menyembuhkan, hanya membuat kita lebih tahan.
Comments
Post a Comment