tiba-tiba saja jemari saya...

“Akhir-akhir ini saya sangat takut menulis, begitu phobia nya saya hingga menyentuh keyboard di komputer pun rasanya saya tidak sanggup. Ada apa dengan saya? Saya sendiri juga tidak tahu. Tapi entah kenapa pagi ini surya seperti kembali bersinar di ruangan saya, memberikan saya kekuatan dan semangat untuk kembali membiarkan jemari saya menari-nari di atas tuts bertuliskan huruf-huruf yang masih acak sehingga harus saya susun sedemikian rupa hingga menjadi kata-kata…”

Annisa melenguh pelan. Adzan yang berkumandang menguntit bedug yang bertalu-talu dari masjid sebelah rumah mengusik tidur panjangnya. Tubuh yang masih terbungkus kain jarik itu menggeliat, menahan semilir angin subuh yang menusuk-nusuk tulang. Di sebelahnya, sosok mungil dengan balutan jarik serupa masih saja terbuai mimpinya tanpa sedikitpun menyadari keterjagaan Annisa. Assholaatukhoirumminannauum… Shalat itu lebih baik daripada tidur. Kembali suara Kang Suto, lelaki paruh baya bersuara lantang—muadzin tetap masjid Al Hikmah, berkumandang memenuhi ruang dengar Annisa. Shalat lebih baik daripada tidur, ya, Annisa tahu itu. Mungkin lebih dari siapapun di dunia ini yang pernah mendengar adzan shubuh.

!$@%#^*!

“Annisa, bangun!” wanita berusia 40 tahun berkerudung putih yang telah mengenakan gamis berwarna serupa dengan kerudungnya semenjak shubuh buta itu menggoyang pelan bahu Annisa, sulung lima belas tahunnya yang kembali terlelap seusai jamaah Shubuh hampir dua jam yang lalu. Si empunya bahu mengernyitkan dahi, kemudian tanpa mengindahkan Bundanya sama sekali, mengerukupkan selimut hingga kepalanya, kembali dibuai lelap tidurnya. Atau sebenarnya, sengaja memaksa tidur kembali menjemputnya. Bunda hanya tersenyum sabar, wanita berwajah tirus yang kini dihiasi kerut tipis di daerah kedua mata dan dahi itu membelai rambut panjang Annisa dengan sayang.

“Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk tidak tidur lagi setelah shalat subuh, sayang,” kata Bunda lirih, tapi Annisa malah meraih bantal di sebelahnya, kemudian menekankan benda itu pada telinganya seolah-olah dengan begitu lubang telinganya mampu tersumbat rapat sehingga ia bisa leluasa kabur dari suara Bundanya. Selebihnya, itu hanya usaha Annisa untuk menunjukkan pada Bundanya dia benar-benar sedang ingin membangkang, sekali ini ia tidak ingin mendengar perkataan Bundanya. Hati Annisa masih terlalu panas untuk menerima hangat Bunda.

Hanya satu kata yang menjelaskan sikap Annisa : ngambek. Ngambek pada Ayah dan Bunda karena iri pada Reza, adiknya yang terpaut usia empat tahun dengannya. Rabu lalu Ayah dan Bunda membelikan Reza handphone baru sebagai hadiah untuk Reza yang berhasil naik kelas dengan nilai paling bagus di antara 39 orang temannya. Handphone ber-kamera untuk anak kelas lima SD, bahkan tanpa diminta Reza sebelumnya. Sedangkan dirinya, remaja yang sebentar lagi merasakan bangku SMA dan sudah sejak hampir tiga tahun lalu merengek-rengek pada Bunda untuk dibelikan alat komunikasi masa kini itu, harus puas hanya dengan menelan ludah melihat adiknya yang dengan tingkah sangat menyebalkan memamerkan benda itu di depan matanya. Aku punya hape, bisa buat motret lagi. Kak Annisa nggak punya kaan? Sukurin… Wek wek…

Ini tidak adil, berkali-kali Annisa berteriak dalam hati.

Semakin jeritan menuntut keadilan itu membahana di dada Annisa, semakin terbakar Annisa jadinya. Dan beginilah jadinya, dua hari Annisa spontan tidak mau berbicara dengan Ayah, Bunda, apalagi Reza. Setiap kali ditanya apa yang terjadi dengannya, hanya bisu yang menjawab rasa ingin tahu Ayah. Meskipun setelah itu Ayah melempar pandang lengkap dengan seringai misterius pada Bunda. Bunda yang lebih tanggap, hanya tersenyum sabar setiap kali mendapati raut wajah Annisa tertekuk suram memandang adiknya yang sibuk mengutak-atik handphone barunya. Tapi Bunda juga tidak berkata sepatah pun, karena Bunda sejatinya lebih tahu kapan waktu yang tepat mengajak putri kesayangannya itu berbicara. Pagi ini rencananya, tepat di hari ulang tahun ke enam belas Annisa.

Sebuah kejutan yang telah dipersiapkan Ayah dan Bunda jauh-jauh hari telah sejak shubuh menunggu Annisa di meja ruang tamu. Sengaja diletakkan di situ, agar jika Annisa keluar dari kamar tidur, dia langsung melihat kotak berwarna hijau muda, atau yang lebih dikenal dengan istilah ijo pupus—warna kesayangan Annisa—itu. Ditilik dari waktunya, pemberian surprise itu akan menjadi sangat pas, karena hari ini Ayah dan Bunda harus berangkat ke Jakarta, memenuhi panggilan dinas dari kantor Ayah. Simpel saja. Ketika seseorang memberimu kado, tapi orang itu menghilang dengan sangat misterius, bukankah akan menjadi kado yang sangat sulit untuk dilupakan? Kecuali jika orang itu menghilang untuk selamanya, itu lain urusan. Susah dilupakan memang, tapi kenangan itu akan menjadi sungguh pahit dan menyakitkan.

"Ya sudahlah kalau kamu nggak mau bangun. Kalau rezekinya dipatok ayam, jangan salahin Bunda lho ya,” kata Bunda sambil beranjak meninggalkan Annisa. “Bunda nggak marah kok kamu ngambek sama Bunda. Tapi jangan keterusan sampai besok, ya… Yah… paling enggak nanti kamu udah nggak mlengos lagi waktu salaman sama Bunda seusai tadarus maghrib nanti,” tambah Bunda seiring senyumnya yang mengembang, walau senyum itu hanya dibalas gerakan singkat Annisa yang sedikit menelengkan kepala sebagai usahanya menangkap kata-kata Bunda dengan jelas.

Bunda melangkah keluar dari kamar Annisa, sekali lagi memandang
kotak hijau muda di atas meja ruang tamu, lalu tersenyum. Ah, Annisa pasti senang sekali. Sudah sejak kelas satu SMP kan dia minta dibelikan HP... Ah, ya… Sudah lama sekali semenjak saat itu… Gumam Bunda dalam hati. Sementara saat itu Annisa sibuk memikirkan kata-kata Bunda tadi. Paling enggak sampai maghribSampai maghrib… Tapi hati Annisa masih terlalu angkuh untuk meraih tangan Bunda dan Ayah sekedar mengucap maaf atas sikapnya yang keterlaluan dua hari ini. Ah… nanti saja, kan masih ada waktu… Aku masih sebel sama Bunda. Aku ngantuk, mau tidur aja

Dan laut selatan bergejolak. Sebuah kekuatan dahsyat tiba-tiba serasa menggoyang jagad dan seluruh isinya, merubuhkan pepohonan dan bangunan-bangunan tinggi menjulang yang katanya produk kemajuan otak manusia. Seketika langit tampak menghujankan genting-genting yang tak jarang mendarat di atas kepala manusia. Merapi terbatuk-batuk mengeluarkan nafas penuh asap yang selama beberapa saat kemudian dengan salah kaprah diyakini manusia-manusia yang lupa berucap syukur sebagai sumber dari malapetaka pagi yang cerah ini.

Dan dua manusia—seorang wanita yang mengenakan gamis dan seorang pria dengan kemeja kantor putih dan dasi rapi menggantung dari kerahnya—yang satu detik lalu membuka pintu mobil dan hampir masuk ke dalamnya, kembali berlari ke dalam rumah menyadari bencana tiba-tiba yang mengguncang itu membahayakan kedua anaknya yang masih tertidur lelap. Suasana di sekitar sungguh gaduh, mereka berdua mencoba menutup telinga rapat-rapat dari gemuruh rumah yang ambruk, teriakan, jeritan histeris memekakkan telinga yang sesekali diselingi Subhanallah! Atau Allahuakbar! yang spontan untuk memohon perlindungan-Nya.

Bunda berlari memasuki rumah. Ayah menguntit di belakangnya. Namun tepat saat mereka tiba di ambang pintu, dalam waktu tak kurang dari sepersekian detik, tembok itu rubuh. Melesak ambruk ke dalam berikut pintu-pintu dan jendela-jendela, mengiring teriakan LA ILA HA ILLALLAH! Yang berbarengan meluncur dari sepasang suami-istri itu. Menyusul tembok sebelah kanan, dan beberapa detik kemudian bagian depan rumah yang beberapa saat lalu masih terlihat damai sejahtera itu telah hancur menyatu dengan tanah. Tapi bagian belakang rumah itu, masih kokoh berdiri meski di sana-sini tampak rekahan yang menganga lebar yang bisa jadi sanggup merontokkan bangunan itu hanya dengan beberapa detik saja.

Lalu bumi kembali tenang. Seolah tiada pernah bergetar dengan begitu hebatnya, dia hanya menyisakan tangisan, rintihan yang seketika mengisi alam berbarengan dengan debu yang mengepul ke angkasa. Debu dari sesuatu yang dulu mereka sebut rumah, sesuatu yang dulu mereka sebut keluarga. Kini kembali menyatu dengan tanah.

Annisa, dalam jongkoknya, dengan subhanallah yang masih mengalun lancar meski gemetar dari mulutnya, lengannya merangkul Reza yang begitu pucat menguik-nguik ketakutan seperti kambing di sebelahnya. Satu menit berlalu, Annisa terus tersadar apa yang hendak dilakukan ketika Reza mengingatkannya oleh satu rengekan pelan.

“Bu… Bunda…”

Dan secepat kilat Annisa keluar dari kolong meja itu, tanpa punya waktu memperhatikan keadaan sekitar yang telah prak-poranda, segera menggamit tangan Reza untuk berlari keluar dari ruangan mengerikan oleh rekahan tembok yang tampak seperti sulur monster raksasa yang siap menerkam mereka dan berbagai perabot, kursi, lemari yang rebah dengan pasrah ke lantai. Berharap melihat keadaan yang lebib baikd ari kamarnya, Annisa menggandeng Reza berlari ke ruang tamu, tapi pemandangan yang didapatnya ternyata jauh, jauuuh lebih buruk. Karena tiada apa-apa lagi yang berdiri di sana, semua rata dengan tanah. Menyisakan area terbuka yang memberinya izin melongok ke kanan-kiri rumah, ke arah tetangga yang pontang-panting berteriak memanggil nama sanak saudara mereka.

Astaghfirullohal’adzhim… Seru Annisa dalam hati oleh pemandangan yang mengiris hati di depannya.

“Kak Annis… Bunda sama Ayah… di… mana?” Reza kembali merengek, menggerak-gerakkan jemari dalam gandengannya. Tepat saat itulah, Annisa melihat dari sudut matanya, di bawah runtuhan tembok yang masih mempertahankan daun pintu itu, sebuah telapak tak berdaya tertindih batu-bata yang masih berbentuk dan tersusun dalam tatanan dinding rumah yang rapi. Dan jari manis telapak itu mengenakan cincin. Cincin emas dengan permata delima Bundanya.

“BUNDAAA!!!”

Dan Annisa belum sempat mengucap maaf sebelum maghrib tiba.

Bunda… Maafin Annisa, seharusnya Annisa dengerin kata-kata Bunda. Seharusnya Annia cepat-cepat minta maaf sama Bunda tadi pagi. Tapi rupanya Annisa lebih memilih menuruti ajakan syetan untuk kembali terlelap di pagi terakhir Annisa berjumpa denganmu di dunia ini…

!@$#%&(

Comments

Popular Posts