DSC.. oh.. DSC

"Kalian berarti keren banget ya, satu angkatan kebersamaannya kuat.."
Kalimat itu adalah kalimat tanggapan yang paling sering keluar dari mulut teman-teman saya ketika saya ngobrol dengan mereka dan menceritakan bagaimana keseharian kehidupan di KG tercinta *ehem!*
Saya sempat heran juga ketika mendapati mereka kagum dengan cerita saya seputar jarkom satu angkatan yang sudah ter-handle dengan rapi dan terkoordinasi. Juga tentang sistem yang kami namakan DSC, Dentistry Study Club. Teman-teman saya ini, untuk kedua kalinya terkagum-kagum dengan sistem ini:
"Mahasiswa kedokteran itu kalo soal belajar bagus ya, bersatu banget..."
Well, ya memang seperti itu seharusnya. Semakin lama jadi mahasiswa, semakin kerasa perbedaan belajar di kampus sama di sekolah. Kalau dulu pas masih pake seragam abu-abu putih, biru putih, atau merah putih, asal nggak kebangetan bodohnya, INSYA ALLAH masih bisa selamat sampai lulus ujian nasional meski masa bodoh dengan sekitar. Tapi di kampus tidak. Benar-benar butuh orang lain untuk bisa selamat sampai tujuan. Tidak hanya di kedokteran lho, kuliah di manapun nggak akan bisa survive kalau belajarnya pure individual.
Hmm.. saya mau sedikit berbagi tentang DSC *wuidih.. berasa pidato ini*
Jadi, seperti yang sudah saya singgung di atas, DSC adalah Dentistry Study Club. Sebenarnya saya juga kurang tahu-menahu tentang asal mula DSC itu bagaimana dan seperti apa. Yang saya tahu ya DSC yang ada sekarang ini dan bahwa DSC sudah ada sejak zaman dahulu kala *jangan bayangin lebay ya, tentu saja DSC belum ada di zaman purba :O* bahkan dosen-dosen saya yang sudah relatif senior pun bercerita bahwasanya ketika masih jadi mahasiswa, belajarnya difasilitasi oleh DSC.
Hmm.. mungkin yang ada di pikiran anda sekalian ketika mendengar Dentistry Study Club adalah, bahwa DSC ini adalah suatu bentuk club, perkumpulan, organisasi, atau semacamnya di kedokteran gigi yang program kerja utamanya adalah belajar. Yep, ketika saya baru masuk KG dan jadi mahasiswa junior tahun pertama pun anggapan saya begitu. Saya juga sempat bingung sebenarnya, ketika di tahun pertama mendapat *beli ding, sebenarnya* buku-buku kumpulan materi kuliah berisikan slide-slide presentasi dosen dengan cover yang bertuliskan DSC. Nah lo, jadi DSC itu club atau buku-buku itu?

Lagi-lagi, waktu yang menjawab segalanya. Betapa kita tidak berdaya menyingkap misteri duniawi yang hanya waktu yang tahu kuncinya *apa deh ini*.
DSC memang suatu bentuk organisasi, sebuah club yang program kerja utamanya adalah memproduksi print out materi perkuliahan yang disampaikan dosen di kelas. Tapi, DSC bukan organisasi kemahasiswaan yang berdiri di bawah Keluarga Mahasiswa macam UKM. Boleh dibilang, DSC adalah semacam 'badan semi otonom' yang - kalau di angkatan saya - di bawah ketua angkatan. Biasanya, DSC dipimpin oleh 2 koordinator dari masing-masing kelas (ganjil dan genap) yang membawahi tim penyusun DSC tiap mata kuliah. Tim penyusun inilah yang setiap harinya kerja keras banting tulang dan otak *lebay mode : on* untuk mengumpulkan, mengedit slide presentasi dosen dan menambahinya dengan catatan mandiri dari tambahan penjelasan baik yang sengaja maupun tidak disampaikan dosen di kelas lalu memberikan softcopy hasil editan tersebut kepada tim kreatif. Tim kreatif ini, adalah tim kecil dengan tugas yang sebenarnya sedikit, meliputi pembuatan layout dan final editing TAPI selalu harus bekerja under pressure karena final editing adalah tahapan terakhir dalam proses penyusunan DSC sebelum dicetak yang harus diselesaikan dalam waktu yang sangat mepet. Saat-saat seperti ini (apalagi menjelang UTS) adalah saat-saat paling bikin gila. Bayangkan, biasanya UTS dimulai hari senin, dan koordinator DSC akan menentukan deadline pengumpulan softcopy dari tim penyusun, yaitu hari jumat sebelum minggu UTS. DSC harus terdistribusikan kepada seluruh manusia dalam 1 angkatan maksimal minggu sore, dan jika waktu yang dibutuhkan untuk mencetak dan memperbanyak DSC adalah 1 hari, maka tim kreatif hanya punya waktu 1 hari untuk final editing softcopy dari belasan DSC itu : dari jumat sore sampai sabtu sore. Secara teori, sebenarnya tidak dibutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan tugas macam ini. Prakteknya, selalu ada saja masalah yang membuat waktu yang tersedia bagi tim kreatif semakin mepet : salah satunya, yang paling klasik, adalah keterlambatan tim penyusun dalam mengumpulkan softcopy DSC *sigh*.
Proses selanjutnya, tim kreatif akan membuat master DSC untuk kemudian diperbanyak oleh tim distribusi. Tim ini kemudian yang bertanggungjawab membagikan DSC kepada konsumen setia DSC. Untuk pemesanan dan pembayaran, sudah ada sekretaris dan bendahara DSC yang menghandle.
Setiap tahun, kepengurusan DSC diperbaharui. Untuk semester I, masih boleh santai istilahnya, karena untuk semester I kami sudah mendapat suplai gizi *materi kuliah, -red* dari kakak angkatan : sebuah departemen di Denta Paramitha bertanggungjawab dalam produksi DSC semester I bagi mahasiswa baru. Semester II, harus mulai belajar mandiri. Produksi DSC harus diusahakan murni dengan usaha sendiri, it means, satu angkatan harus bahu-membahu dalam produksi DSC untuk kepentingan bersama. Sampai semester II, saya masih oke-oke saja, merasa baik-baik saja menjadi tim DSC Biokimia yang sejahtera *hahahaha ngomong apa* Tidak terlalu ngeh dengan koordinator DSC yang waktu itu sering berkoar-koar di depan kelas, pasang tampang beringas demi memastikan DSC terbit tepat pada waktunya. Sempat mengecap koordinator DSC waktu itu kelewat galak karena sering hampir marah-marah di depan kelas karena pengumpulan DSC kebangetan ngaretnya.
Akhirnya, saya kena batunya.
Ah, andai saja hari itu di skip lalu tidak pernah ada dalam sejarah kehidupan umat manusia *apa sih*.
Bahwa di suatu hari yang *sebelumnya* cerah, tiba-tiba puluhan tangan manusia-manusia dalam ruang H teracung pada sebuah voting angkatan ketika nama saya disebut sebagai calon koordinator DSC semester III. Oke, waktu itu, kenyataan itu saya terima sebagai tantangan. Bahwa insya Allah hidup saya akan berwarna ketika saya bisa menjawab tantangan itu. Dan nyatanya, kehidupan saya benar-benar berwarna setelah menerima tantangan itu, saking berwarnanya, sampai bikin pusing kepala. Ah!
Dulu saya pikir, ah jadi koordinator DSC itu asyik, nggak usah kerja keras banting tulang setiap harinya mengumpulkan dan mengedit materi kuliah, tinggal nyuruh-nyuruh saja. Makanya saya agak heran ketika mendapati image koordinator DSC itu galak dan tegas : santai aja napa sih Bu, dibawa enjoy aja..
Ternyata setelah merasakan sendiri, oke, enjoy itu wajib, tapi ternyata memang harus galak. Ouwow dan ternyata mengerahkan belasan kepala dengan isi yang berbeda-beda itu tidak mudah. Semua harus diperhatikan. Prinsip harus disamakan. Instruksi harus benar-benar jelas. Komunikasi harus terkoordinir dengan baik. Dan, yang paling penting, tanggungjawab benar-benar ada di tangan koordinator. Oh-oh.
Sebenarnya, esensi dari DSC, menurut saya, sangat mulia. Orang-orang yang tergabung dalam tim DSC, seharusnya telah memiliki mindset seragam, bahwa pekerjaan yang mereka lakukan, sekalipun berpeluh-peluh, menghabiskan waktu berjam-jam yang seharusnya bisa digunakan untuk mengerjakan laporan, belajar pre test, review atau apa, adalah pekerjaan yang sangat crucial, sangat penting bagi masa depan anak-anak satu angkatan. Semestinya, tim DSC sadar bahwa di tangan merekalah 'nasib' akademis angkatan, dan karenanya, itu menjadi sebuah amanah yang sangat besar. Ketika amanah itu telah terselesaikan, maka mereka akan muncul sebagai manusia yang terbukti tidak hanya bisa mengusahakan yang terbaik untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk orang lain. The real giver, kata angkatan 2008. DSC semestinya dibentuk bukan hanya dengan tujuan berjualan dan mencari untung sebesar-besarnya, tetapi menjadi fasilitator dalam pembelajaran. Sebuah tim dengan amanah utama membagikan ilmu pengetahuan. Meskipun sepertinya terlihat berjalan beriringan antara dua tujuan itu (berjualan dan mencari untung, -red) namun sebenarnya ada perbedaan yang mendasar. Ketika prinsip yang dipegang tim DSC adalah mencari untung, maka ketika lembar pemesanan telah diedarkan dan pembayaran sudah terselesaikan, maka habislah perkara. Dalam kasus ini, tim DSC memegang semacam 'kartu mati', kinerjanya dipengaruhi oleh jumlah peminat DSC yang diproduksinya. Kasarnya, bisa semena-mena terhadap isi DSC yang diproduksinya, asal uang sudah di tangan. Kepercayaan terhadap konsumen hanya diukur dengan uang, tanpa melihat siapa konsumennya dan akibatnya ketika tidak terjalin suatu kepercayaan antara produsen dan konsumen. Tidak ada uang tidak ada barang. Oke, mungkin idealnya memang seorang penjual harus memegang kuat prinsip tidak ada uang tidak ada barang, tapi tim DSC diharapkan menjadi penjual yang bukan semacam itu dalam situasi-situasi yang tidak memungkinkan. Karena yang dibagikan adalah ilmu, maka semestinya prinsip tidak ada uang tidak ada barang bisa diperlonggar dengan menambahkan sedikit kepercayaan. Saya tidak bisa membayangkan ada teman saya yang nggak bisa belajar karena belum bisa melunasi pembayaran DSC dan karenanya tidak mendapat DSC pesanannya. Maksud saya, toh dia nggak akan pergi kemana-mana, masih bisa ditagih di lain hari kekurangannya. Tapi semoga bukan ini prinsip yang dipegang masing-masing anggota tim DSC 2009.
Lain halnya ketika prinsip yang dipegang adalah prinsip berbagi ilmu : tim DSC akan berusaha sebaik-baiknya menjadi fasilitator yang baik. Proses produksi DSC akan terlaksana dengan perasaan ikhlas, yang menjadikan hasil produksinya lebih bermutu, karena ada semacam ikatan psikologis antara produsen, dalam hal ini tim DSC, dengan konsumen. Demi kebaikan bersama, atas dasar kepecayaan. Hal itu tentunyab akan lebih diutamakan ketimbang uang dan keuntungan. Lalu pada akhirnya, impian angkatan 2009 untuk lulus bersama-sama, berfoto bersama dalam satu waktu wisuda, akan lebih mudah untuk terwujud.
Kesimpulannya : sepertinya saya harus mencari kandidat untuk koordinator DSC semester IV yang lebih berkompeten ketimbang saya, sekaligus untuk meluruskan prinsip Dentistry Study Club. Hahahaha :D


Comments
Post a Comment