Pengalaman Pertama (super) Oye

Dimana-mana, yang namanya pengalaman pertama itu memang (harus) mengesankan.

Liburan akhir semester ini dimulai. Sebuah liburan paaaanjang karena nabrak dua moment besar tahun ini: Ramadhan dan Idul fitri. Bayangkan, kita-kita dapet liburan PENUH di bulan Juli dan Agustus ini. Sebuah peristiwa yang, bak gerhana matahari total, sangat jarang ditemui dalam kurun waktu seratus tahun *halah*. Buat anak-anak kuliah yang memang anak rantau, hal itu cuma berarti satu hal: kesempatan superbagus buat pulang kampung, bisa puas kangen-kangenan sama keluarga tanpa diganggu gugat oleh rasa kemrungsung harus cepet-cepet balik ke Jogja. Syukur-syukur kalo kepulangannya pake acara disambut warga sedesa, atau sekecamatan, karena mungkin dianggap putra daerah yang berhasil mengharumkan nama kampungnya dengan menjadi insan cendekia salah satu kampus paling tersohor di Indonesia *maap lebay. Mahasiswa angkatan 2008 dan sebagian 2007 mungkin nggak terlalu sumringah menyambut libur panjang ini. Karena meskipun judulnya libur, nyatanya nggak ada waktu untuk bersantai-santai di rumah. Karena harus KKN di negeri antah berantah. Sementara mahasiswa seperti saya, yang masih semester 4 atau di bawahnya yang warga pribumi Jogjakarta dan sekitarnya, memang secara teori tidak harus kemana-mana. Kecuali kalo memang ada rencana liburan ke luar kota, atau lebih dahsyat lagi, keluar negeri. Parahnya, saya termasuk manusia pribumi yang sampai saat ini nggak punya rencana bagus untuk liburan kemana pun. Jadi, selama beberapa hari ini, hal pertama yang saya pikirkan sewaktu bangun pagi adalah: hari ini mau ngapain, mau kemana, dan sama siapa. Semata-mata untuk menghilangkan kepenatan karena saking nggak ada kegiatannya di rumah. Plus, untuk melenyapkan kegalauan akademik gara-gara terancam IP semester ini terjun bebas ke angka 2 koma, atau mungkin justru 1 koma (na'udzubillahimindzalik!).

Untuk itulah, saya yang terkesan (bukan hanya terkesan ding, tapi memang) cari-cari kerjaan biar nggak nglangut ini, langsung bilang OKE dengan semangat 45,9 ketika ada yang menawari kegiatan pengisi kejenuhan. Salah satunya ketika salah seorang rekan ukesma saya (sebut saja namanya mirsa, -red) menawarkan oprec penjagaan pertandingan pencak silat, Perisai Diri, di Gelanggang. Walaupun saya belum berpikir matang-matang sebenarnya. Saya kan belum punya pengalaman apa-apa jaga pertandingan. Basket aja (yang notabene bisa dibilang agak 'ringan') belum pernah jaga. Ini kok tiba-tiba semangat banget mau jaga pertandingan yang isinya orang berantem (tapi sportif) gitu. Tapi ya nggak apa-apalah, saya pikir. Toh nanti juga nggak sendirian. Toh nanti bisa minta didampingi anak ukesma yang tingkatannya jauh di atas saya.

Padahal, semestinya saya ingat, bahwasanya ini adalah liburan, dan balik lagi ke cerita awal tadi, anak-anak rantau 90% pulang. Sedangkan anak ukesma yang DD atas (angkatan atas), bisa dipastikan sebagian besar adalah anak-anak rantau. Yang lainnya lagi, KKN.

Dan jadilah, penjagaan pertandingan perisai diri akhirnya cuma saya, mbak Riski (yang seangkatan dengan saya, sama nggak berpengalamannya) dan Muqit, seorang DD atas yang saya yakin jauh berpengalaman daripada kami. Makanya kami tenang-tenang saja. Paling tidak, ada Muqit yang mendampingi.

Dari awal, saya sudah punya firasat hari itu bakal jadi hari yang 'wah' . Jadwal jaga pertandingan jam 09.00-17.00. Jam 9 lebih beberapa menit saya sudah sampai unit. Belum ada tanda-tanda kehadiran Riski ataupun Muqit. Beberapa saat menimbang-nimbang antara mau langsung ke TKP atau menunggu mereka, akhirnya saya putuskan untuk menunggu saja. Toh saya nggak tahu harus menghubungi siapa dan obat-obatan apa saja yang harus dibawa kalau mau langsung ke TKP. Parahnya, beberapa belas menit saya menunggu, mereka berdua nggak kunjung datang. Saya berinisiatif sms mbak Riski, balasannya sungguh mencengangkan, bahwasanya dia TERNYATA baru mau berangkat. Jam 9 lebih sekian. Dari Bantul. Setengah jam perjalanan, paling cepat. Wah, saya mulai agak senewen. Belum tuntas saya menikmati kesenewenan saya itu, tiba-tiba datang beberapa mas-mas berseragam silat (salah satunya saya kenal tapi saya lupa namanya-padahal dia ingat nama saya. Aduh kebiasaan nih saya, tukang lupa nama. Maaf ya kalo ada yang pernah saya lupa namanya. Tapi wajahnya insyaAllah nggak akan lupa kok), menanyakan kepastian kehadiran kami di arena pertandingan, karena pertandingannya sudah mulai. Saya mulai agak panik *oke, ini agak lebay sebenarnya*. Seolah belum cukup, tiba-tiba saja hape saya bergetar, ada pesan singkat dari kepala divisi operasional, divisi yang sehari-hari ngurusi masalah penjagaan, bahwa kami sudah dicariin panitia pertandingan. Kepanikan saya naik ke level 1,5. Sesaat kemudian, Muqit menelepon saya, mengabarkan hal yang sama, bahwasanya kami sudah ditunggu, dan parahnya, dia baru bisa datang beberapa belas menit lagi. WHOA! Saya semakin kalut. Kepanikan saya naik ke level 2 *hahaha lebay!*. Bukannya apa-apa, tapi saya ini kan merasa masih pemula. Nggak punya pengalaman apa-apa. Kalo kesana mesti ngapain? Bawa apa aja?

Untungya, beberapa saat kemudian (akhirnya) Muqit datang juga. Disusul Riski. Dan akhirnya kami menuju TKP bersama-sama. Yang kemudian dipersilakan duduk di pojok luar arena, bersama salah seorang mas-mas (sebut saja namanya mas Andre) yang ternyata seorang perawat. Untuk kesekian kalinya ijinkanlah saya berkata lega bahwa, thank's God we met him! Karena beberapa saat kemudian, Muqit pamit pergi sebentar untuk servis motor.

Nah, tepat ketika Muqit pamit itulah, untuk pertama kalinya saya dan Riski mengalami saat-saat kegentingan dimana di tengah pertandingan salah seorang atlet (yang notabene adik kelas saya, whoa) cedera. Kena tonjok di mata. Bengkak luar biasa. Dan pasti nyerinya juga luar biasa. Parahnya, perhatian kami ketika peristiwa itu terjadi masih terpaku pada Muqit yang ijin minta diri. Maka, kami memang nggak memperhatikan arena. Dan, bisa saya pastikan, tampang saya dan Riski tampak sangat oon, kalut, bingung, ketika baik wasit maupun official berteriak dari arah arena:

"MEDIS, MEDIS!!!"

Konyolnya lagi, saat itu mata saya telanjang, tanpa kacamata. Maka dunia tampak buram bagi saya. Saya bahkan tidak bisa melihat siapa dan dimana yang cedera.
Jujur, saat saya berlari ke arah arena pertandingan, sebenarnya saat itu saya belum bisa melihat dengan pasti siapa yang cedera. Istilahnya, waton mlayu. Sampai saya harus berlari balik lagi untuk mengambil es batu ketika tahu petarung tadi kena tonjok dan bawah matanya bengkak. Keadaannya sungguh agak messin' around banget, untuk ukuran pertandingan yang dijaga oleh 3 petugas p3k dan seorang perawat berpengalaman (saat itu mas Andre, si perawat, sedang ke belakang untuk cuci tangan).

Jadi begitulah, sepanjang sisa pertandingan selanjutnya, keadaan agak lumayan lebih terkoordinasi dan terkendali. Mungkin karena pemanasannya sudah cukup. Mungkin karena sudah merasa lebih tenang karena mas Andre dengan sangat pintarnya (ya iyalah) membawa sekotak es batu, thrombophob, dan beberapa ampul epinephrin yang sebenarnya merupakan bahan-bahan yang wajib ada untuk penjagaan pertandingan silat macam itu, yang, dengan oonnya, lupa kami bawa. Dan sepanjang sisa pertandingan (yang masih sangat lama, masih sampai jam 5 sore) itulah, dengan konyolnya saya dan Riski nggendholi mas perawat untuk nggak meninggalkan arena.

Dimana-mana, (ternyata) yang namanya pengalaman pertama memang (harus) mengesankan. Dan satu pelajaran bagi saya, walaupun memang harus semangat, tapi jangan main-main dengan yang namanya pengalaman pertama. Pemanasan dulu boleh lah, yang ringan-ringan dulu saja. Kalau sudah bener-bener matang, baru deh handle sesuatu yang lebih berat...

Comments

Popular Posts