Jadi, Seperti Itulah Rupa Cinta


#1
“Ya begini ini mbak, sebenarnya nginap disini mahal, tapi ya bagaimana lagi. Mau cari yang lebih murah di belakang sana, panas. Dia kan terbiasa dengan udara sejuk di rumah, di Jogja gerah, dia nggak tahan. Kalau di penginapan ini kan ada AC nya..”
Si Bapak bercerita sambil memandang sayu istrinya yang terbaring tak berdaya di atas ranjang, wanita di awal usia 30-an yang rambutnya hampir habis oleh efek samping pengobatan. Matanya terus terpejam, bukan terlelap, hanya menahan mual tak tertahankan. Si Bapak tersenyum, senyum yang yang menyiratkan ketegaran luar biasa. Senyum yang menyimpan satu alasan yang menjelaskan darimana tegar itu berpendar: cinta.

#2
“Bapak merasa sulit menelan nggak karena mulutnya kering? Air ludahnya sedikit nggak?”
“Wah, kalo menelan makanan itu saya sampe harus kayak orang nari, pacak gulu itu lho, matanya melotot kemana-mana, sakit banget. Air ludahnya ya sedikit mbak, lengket sekali kayak lem, mbaknya boleh kalau mau minta untuk ngelem kertas, hahaha…”
Seorang Bapak berusia awal lima puluh. Melontarkan guyonan hingga membuat saya, dua rekan penelitian saya, dan istri si Bapak yang dengan setia menunggui si Bapak, terbahak-bahak. Seorang Bapak berusia awal lima puluh yang ceria, yang terlihat biasa dan sehat-sehat saja andai tidak nampak benjolan di sisi kanan-kiri lehernya dan duduk di atas kursi roda. 

Hari ini saya banyak belajar. Bukan, bukan belajar di kelas atau belajar dari textbook beratus halaman. Ada yang bilang, belajar itu tidak harus dengan duduk di kelas mendengarkan guru menjelaskan. Tidak harus dengan membaca buku tanpa jeda hingga berjam-jam. Hari ini teori itu terbukti benar. Terlebih untuk pengetahuan macam ini, yang tidak akan saya peroleh di kelas mata kuliah apapun di FKG. Yep, karena hari ini saya dapat pelajaran tentang cinta. Pagi tadi saya bertemu dua pasien klinik radioterapi RS Sardjito yang menjadi subyek penelitian saya. Dua pasien kanker nasofaring dengan latar belakang dan jenis kelamin berbeda, tapi mengajarkan saya satu hal senada, izinkan saya menyebutnya pelajaran cinta.

Saya terenyuh luar biasa. Selama dalam perjalanan pulang saya terus berpikir, betapa luar biasa nya hari ini, saya diberi kesempatan oleh Tuhan menyaksikan indahnya perwujudan cinta yang begitu tulus. Cinta yang tidak hanya sebatas kata-kata seperti sepasang muda dimabuk asmara. Bukan juga cinta penuh nafsu yang dipertontonkan dalam adegan ciuman mesra film-film mancanegara. Tapi cinta yang telah menjelma menjadi sesuatu yang lain, sesuatu yang tersirat namun auranya terpancar dengan gamblangnya. Yang membuat saya tiba-tiba saja ingin menitikkan air mata saking manisnya.

Hari ini saya melihat rupa cinta yang sebenarnya. Muncul melalui sudut bibir si Bapak ketika tersenyum sabar pada istrinya yang terbaring lemah di atas ranjang. Dari sorot mata si Bapak yang seakan tidak ingin melewatkan pun satu tarikan napas istrinya yang pastinya penuh mual dan nyeri tak terkira. Cinta yang membuat pikiran dan kekhawatiran tentang angan-angan masa depan yang begitu sempurna—hal-hal semacam: kita berdua masih muda, mau dibawa kemana rumahtangga kita? kanker ini seharusnya tidak begitu saja merenggut kebahagiaan kita, menenggelamkan cita-cita punya anak dan hidup bahagia—menjadi sesuatu yang tidak terlalu penting untuk dihiraukan. Karena yang terpenting adalah membuat orang yang kita cintai nyaman, dan itu sudah lebih dari cukup dibanding rencana bahagia apapun yang pernah dirangkai sebelumnya.

Hari ini saya melihat rupa cinta yang sebenarnya. Merekah di wajah istri si Bapak yang dengan setia menunggui suaminya di belakang kursi roda. Menjelma menjadi sebuah kekuatan mahadahsyat yang memberikan si Bapak semangat dan ketegaran untuk tidak menghilangkan keceriaan meski kedua sisi lehernya sudah membengkak sebegitu rupa dan sulit menelan luar biasa. Dan cinta-cinta serupa yang menjadi alasan pasien-pasien semacam Bapak ini masih tetap bisa tersenyum dan bercanda meski menahan nyeri betapa. Hari ini, melalui Bapak ini, otak saya mendadak terpogram untuk ber-flashback mengingat pasien-pasien sebelumnya yang juga masih saja bisa bercanda dan tertawa meski sedang menderita sakit yang tidak main-main parahnya. Mereka ini, pasien-pasien ceria ini, adalah pasien-pasien yang diantar dan ditunggui istrinya.

Hari ini saya belajar. Bahwa cinta tidak hanya semanis yang terdengar dari kata-kata sepasang remaja yang pacaran kemana-mana. Tidak hanya sebermakna yang dibilang Bram dalam lagu Makna Cinta-nya. Cinta jauh lebih manis, jauh lebih bermakna ketika dia terwujudkan dalam cara yang begitu tersirat dan apa adanya :)

Comments

  1. Perjuangan kita pontang panting LPPT, berburu daun nongko sabrang belum ada apa-apanya dibanding perjuangan mereka nduk.. :')

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts