Officially Friendika Dhiah Ayu Intan Shinta, S.K.G.
Well done.
Namaku sekarang tambah panjang. Ada embel-embel Sarjana Kedokteran Gigi nya di belakangnya.
Akhirnya kuliah jenjang Strata 1 ku selesai sudah. Setelah melewati sekian banyak halangan dan rintangan, berjibaku mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan perasaan, serta bertetes-tetes peluh dan air mata. Hmmm... namanya juga perjuangan. Kalau nggak pake ngelewatin masa 'berdarah-darah' bukan perjuangan namanya, tapi liburan, ya nggak?
Memang, ini baru satu fase diantara banyak fase yang harus kulalui dalam proses karirku *fiuh!* Namun mau nggak mau aku harus mengakui, untuk bisa sampai di tahap ini (ternyata) benar-benar bukan perkara yang mudah. Saat memperjuangkan untuk bisa melewati garis finish fase ini dan keluar sebagai survivor, begitu banyak ilmu baru yang Allah ijinkan kupelajari satu demi satu. Orang-orang terdekatku bilang: ujian, yang kemudian sekaligus kuanggap proses pendewasaan. Bukan, bukan sekedar ujian proposal skripsi atau pendadaran. Melainkan ujian yang diberikan langsung oleh Allah agar aku 'terlahir kembali' sebagai makhlukNya yang sadar bahwa aku ini, begitu kecil di hadapanNya, begitu lemah seandainya tidak diberikanNya kekuatan hingga bahuku cukup tegar untuk tetap tegak dalam kondisi (izinkan aku menyebutnya) terburuk dalam hidupku.
Ada yang pernah denger kalimat semacam ini?
"Orang skripsi itu memang banyak ujiannya. Adaaa aja pasti masalah yang bikin semangat naik turun..."
Awalnya, aku sempet nggak percaya sama 'doktrin' itu. Well, biar gimanapun, suatu permasalahan nggak akan pernah jadi masalah kalo nggak kita permasalahkan, bukan? Begitu sombongnya aku sampai-sampai menganggap hal-hal semacam itu nggak akan pernah terjadi padaku dan apapun yang terjadi aku yakin aku pasti bisa mempertahankan semangatku dengan konsisten.
"Kapan wisuda nok?"
Aku masih ingat, sebuah sore yang cerah, aku menghabiskan waktu sejenak dengan Bapak di halaman depan rumah. Dari atas kursi rodanya, Bapak mengangkat tema tentang wisuda. Mempertanyakan kapan kiranya aku akan lulus dan memberikan beliau gelar baru: seorang Bapak yang anak gadisnya sudah sarjana. Terbata berpesan kepadaku agar aku tetap semangat mengejar cita-cita meski kondisi kami sedang serba terbatas. Kondisi perekonomian keluarga kami sedang ambles saat itu (dan saat ini pun juga masih begitu); usaha konveksi kakak semata wayangku gulung tikar dan karenanya telah melibas habis hampir semua aset keluarga kami. Dan seakan belum cukup, kakak semata wayangku yang seharusnya bisa kujadikan panutan dan bisa ngemong aku, Ibu, dan Bapak yang sakit stroke, pergi menghilang begitu saja tanpa kabar berita semenjak usahanya bangkrut. Meninggalkan aku, Ibu, dan Bapak dengan kondisi perekonomian keluarga yang seperti baru saja tersapu La Nina.
Kupikir, akan ada sore-sore yang lain dimana aku bisa berbincang panjang dengan Bapak tentang apa saja. Tentang wisuda. Tentang karirku kedepannya. Tentang kondisi keluarga kami yang bisa dibilang 'morat marit' akibat kesalahan perhitungan kakak semata wayangku. Nyatanya, sore itu menjadi kesempatan terakhirku berbincang panjang dengan Bapak.
Allah lebih menyayangi beliau dari siapapun yang menyayangi beliau di dunia ini. Lebih dari Simbah. Lebih dari Ibu. Lebih dari aku yang bahkan hingga detik ini belum bisa memberikan apapun untuk beliau. Karena itulah Allah akhirnya memanggil beliau. Begitu cepat. Begitu tak terduga. Tanpa pertanda. Aku, siapa? Hanya manusia merugi yang menyadari semuanya ketika sudah begitu terlambat untuk mencurahkan segenap cinta, kasih dan baktiku pada beliau. Untuk bergegas berlari mengejar deadline yang diam-diam telah ditentukan Allah untuk Bapak dan untukku. Untuk setidaknya mengizinkan beliau memandangku, anak gadis semata wayangnya ini naik ke podium dengan toga dan samir wisuda. Setelah habis mengucurkan air mata pada malam ketika Dokter memvonis untuk segera memindahkan tubuh lemah beliau ke ICU, sebuah ultimatum yang tidak pernah terealisasi karena tidak ada biaya. Setelah hanya bisa teronggok di pojok rumah sakit dan merasa seperti sampah, kalah oleh pergulatan batin menyakitkan: fakta bahwa aku tidak bisa mengusahakan yang terbaik untuk beliau. Jika saja waktu itu kami bertukar posisi; Bapak ada di posisiku, menungguiku yang sakit keras, beliau pasti akan mengusahakan yang terbaik untukku. Apapun itu. Bagaimanapun caranya. Seperti apapun konsekuensinya. Sedangkan aku? Bisa apa?
Hatiku teriris. Tercabik. Terkoyak. Dan entah apa. Tidak pernah ada kata-kata yang tepat untuk melukiskannya.
Hingga Bapak benar-benar pergi. Meninggalkanku. Dalam diam. Memberikanku kesempatan untuk menjadi dewasa sendirian. Melangkah ke podium wisuda tanpa menghadirkan beliau sebagai tamu undangan.
Pada saat itu, I did. Aku merasa seperti ditampar keras-keras oleh malaikat. Teringat akan kesombonganku dulu sesaat.
I almost lost everything. Bapak, keluargaku yang dulu kupikir begitu sempurna (hingga detik ini keberadaan kakak semata wayangku masih juga tidak teridentifikasi. Bahkan dia tidak datang untuk mengantarkan Bapak ke tempat peristirahatan terakhirnya), dan cita-cita.
Itu, mungkin, adalah titik terendah dalam hidupku semenjak aku dilahirkan hingga detik ini.
Tapi aku berusaha bangkit. Aku percaya di alam sana, meski dunia kami tak lagi sama, Bapak masih akan bisa melihat usahaku untuk membuat beliau bangga. Bahwa putri kecilnya, akan senantiasa berjuang untuk menerangi jalanNya ke surga.
This all is for you, Dad. I love you.
mbak preeeeen :')
ReplyDeleteSemangat yaa nduk yang lagi skripsi.. ndang dirampungke :)
ReplyDelete