Stop Budaya 'Priyayi' dalam Lingkungan Akademis!
Hello, world.
Sudah lama saya nggak menulis. Lebih tepatnya, nggak curhat disini. Sudah lama soalnya, nggak ada kejadian yang cukup menghebohkan sampai-sampai saya bela-belain, sempet-sempetin corat-coret disini. Well, sampai beberapa hari yang lalu.
Sejujurnya, saya sedang jengah. Saya mahasiswa. Dan sudah hampir 5 tahun ini menyandang status sebagai mahasiswa. Selama itu pula saya telah melihat dengan mata kepala saya sendiri, merasakan dengan jiwa raga yang saya punyai, betapa sistem pendidikan yang saya (dan mungkin sebagian besar teman-teman sebangsa setanah air saya) harus lakoni sungguh belum lepas dari budaya-budaya kolot yang menurut saya, punya andil dalam kestatisan progres pendidikan kita ini. Sistem pendidikan peninggalan budaya penjajah-pribumi dimana kaum priyayi selalu mendapat tempat dan hak untuk menindas kaum yang lebih lemah. Dimana yang berkuasa punya hak tak berbatas untuk menentukan yang benar dan salah, mengaburkan yang haq dan mengamini yang bathil.
Padahal, sejatinya, di mata Tuhan, kita semua sama. Yang berbeda hanyalah sebesar apa mau kita untuk sepenuh jiwa raga menghamba kepadaNya.
Saya ingin sedikit bercerita. Bukan untuk mencemarkan nama baik pihak tertentu, hanya agar kita saling introspeksi, sekarang ini posisi sistem pendidikan kita seperti apa dan mau dibawa kemana? Saya merasa peristiwa yang telah terjadi pada saya ini salah, tidak semestinya, dan saya tidak ingin hal seperti ini terjadi pada adik-adik, atau anak-anak saya kelak, dimana semangat untuk belajar, bibit-bibit kasmaran belajar terkungkung dan terbekukan hanya karena budaya priyayi kolot yang lekat enggan ditinggalkan oleh mereka yang katanya kompeten baik secara moral maupun keilmuan.
Awal cerita, ketika saya mulai menjalani program profesi. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan kami, mahasiswa program profesi di fakultas tempat saya belajar, menduduki 'kasta terendah' dibandingkan mahasiswa program S-1, S-2, S-3, atau spesialis. Kenapa kasta terendah? Karena mahasiswa program profesi adalah mahasiswa dengan hari-hari penuh salah dan dosa. Ibarat kepompong yang sedang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu, kami ini adalah kupu-kupu muda yang sayap-sayapnya belum terbentuk sempurna. Yang otot-ototnya masih terlalu rapuh untuk mengudara. Ini adalah tahapan terberat bagi kupu-kupu, untuk bersusah payah belajar terbang; demi bisa disebut kupu-kupu yang indah; karena jika tak mampu terbang, apalah arti sayap-sayap beraneka ragam?
4 tahun sebelumnya kami menjalani hari-hari sebagai mahasiswa biasa. Dibekali beraneka ragam pengetahuan baru yang mungkin bisa saja kami serap dengan begitu mudahnya. Karena yang kami hadapi setiap hari masih berupa cetak dua dimensi dalam wujud kertas dan tinta. Atau tiga dimensi namun dalam bentuk latihan keterampilan dasar dalam praktikum preklinik. Bukan hal yang terlalu susah, karena hal-hal tersebut adalah hal-hal dasar yang sifatnya masih statis.
Lalu, ketika kami merasa sudah cukup bekal yang didapat, untuk sementra waktu bekal keterampilan itu harus diendapkan, karena dalam jangka waktu yang tidak bisa diprediksi, lagi-lagi kami terlebih dahulu harus mengasah soft skill melalui penyusunan skripsi. Kemudian setelah selamg waktu yang cukup panjang itu, barulah dimulai periode baru. Dimana kepompong yang telah lama mengurung diri dalam cangkang harus melepaskan diri dari cangkang yang bisa jadi telah menjadi zona yang begitu nyaman untuk ditinggali. But life must go on. Kupu-kupu tidak akan pernah menjadi kupu-kupu jika tidak belajar terbang.
Dan inilah saat-saat terberat yang harus kami lalui.
Berbagai macam tuntutan. Bahwa cetak dua dimensi yang telah kami pelajari sebelumnya harus kami hadapi dalam wujud tiga dimensi, di kehidupan nyata. Yang sifatnya dinamis. Disini, bisa dicermati, dua masalah baru telah tercipta:
1. Cetak dua dimensi ilmu-ilmu yang sebelumnya dipelajari harus diejawantahkan dalam pengaplikasian yang sifatnya 3 dimensi,
2. Pengaplikasian 3 dimensi yang kami temui sifatnya dinamis, sehingga membutuhkan adaptasi dan usaha yang luar biasa untuk mengatasinya
Dan seakan belum cukup dua masalah itu, ada 1 lagi tambahan masalah yang bisa jadi, untuk sebagian besar mahasiswa menjadi hal yang patut dirisaukan:
3. Perlu waktu untuk me-recall skill yang telah relatif lama terendapkan karena dituntut untuk melesatkan kemampuan soft skill beberapa waktu sebelumnya.
Inilah alasan mahasiswa program profesi merupakan mahasiswa tempatnya salah dan dosa. Salah, karena pengaplikasian ilmu secara 3 dimensi, real time on line dan dinamis, sebelumnya benar-benar belum pernah kami lakukan atau minimal kami lihat samasekali, oleh karenanya kadang-kadang membuat kami ber 'improvisasi' dengan metode kami sendiri yang tidak pernah dijelaskan dalam text book manapun. Dosa, karena kesalahan metode yang kami lakukan bisa saja merugikan pasien dan karenanya kami harus bertanggung jawab secara material maupun moral, dalam hal ini bisa saja berupa dosa dari Yang Mahakuasa.
Kami memang patut disalahkan. Untuk kealpaan kami memanajemen diri hingga tidak punya cukup waktu untuk 100% mengasah kembali skill maupun pengetahuan yang sudah lama mengendap di suatu tempat di pojok gelap otak kami. Saya paham jika, dalam kondisi seperti ini, para mahaguru yang telah dengan sangat mulia mengajarkan ilmu pada kami, merasa sakit hati, senewen, lelah karena usaha selama ini terasa sia-sia menjejalkan pengetahuan yang menguap dengan begitu mudahnya dari otak kami yang bebal. Beliau-beliau berhak untuk menghakimi kami sebagai manusia-manusia merugi atas kealpaan kami menjaga konsistensi untuk senantiasa belajar dan memperbaharui pengetahuan.
Tapi cukup disitu saja.
Beliau-beliau tidak berhak untuk menghakimi kami atas apa-apa di luar masalah akademis kami. Terlebih, mengenai hidup kami.
Saya bercerita begini bukan tanpa dasar. Saya mengalami sendiri, betapa pahitnya yang harus saya dengar, saya rasakan, ketika dengan semena-mena pembicaraan akademis dibelokkan menjadi pembicaraan yang sejatinya tidak etis digelar di meja diskusi keilmuan.
Ini tentang diskusi-diskusi yang telah lalu yang harus saya jalani dengan salah satu pembimbing saya, pembimbing yang pada awalnya saya menaruh hormat setinggi-tingginya namun kemudian saya terpaksa menghempaskan rasa hormat saya hanya karena kalimat-kalimat menyakitkan yang saya tidak paham korelasinya dengan pendidikan yang keluar dari mulut beliau.
Beliau bilang, gelar sarjana saya ini sarjana kosong. Saya adalah anak yang durhaka karena menyia-nyiakan harta orang tua untuk berlama-lama sekolah tanpa ada usaha untuk belajar. Beliau bilang, beliau tidak percaya bahwa saya telah berusaha untuk belajar demi pintar. Beliau bahkan mempertanyakan kemampuan saya, pasti saya bisa masuk ugm dengan jalur yang tidak semestinya, yang tidak halal. Dengan uang.
Masya Allah.
Hancur sudah kepercayaan saya pada beliau. Pada sistem pendidikan di tempat saya belajar. Pantaskah seorang guru berbicara seperti itu kepada muridnya? Yang semestinya dia pacu untuk kasmaran belajar, yang seharusnya dia semangati agar semakin menjadi rasa ingin tahunya?
Saya bukan berasal dari keluarga berada. Sekian lama saya berjuang agar bisa mengenyam pendidikan sesuai jalur yang semestinya, agar menjadi makhluk yang dinaikkan derajatnya, agar dianggap ada, dan hanya dengan satu kalimat, beliau berhasil meluluhlantakkan segalanya.
Tidak pantas menurut saya, seorang akademisi berkata seperti itu. Pembicaraan seperti itu diusung ke meja diskusi. Dengan membawa-bawa kehidupan pribadi. Membawa-bawa seberapa besar jumlah gaji ayah dan ibu. Membawa-bawa dari suku mana kamu berasal. Atmosfer akademis seperti apa yang diharapkan jika meja diskusi telah dikotori dengan pembicaraan rasis dan menyakitkan?
Saya rindu ruang belajar yang menyamankan. Yang membuat semakin terpacu ingin tahu. Bukan yang diselimuti aura kolot dimana hubungan dosen-mahasiswa masih belum beranjak dari kebiasaan kuno bahwa mahasiswa harus selalu tunduk, patuh, dan mengamini setiap kata yang keluar dari mulut sang mahaguru, entah nasihat atau caci maki. Mahasiswa tidak sebodoh itu untuk bisa membedakan mana nasihat dan mana caci maki.
Saya lelah.
Semestinya kita bisa bergandeng tangan bahu membahu selayaknya sahabat yang berbincang seru dalam ruang suci ilmu pengetahuan. Bukan mencaci dan menjatuhkan. Semestinya kita bisa bekerja sama untuk menciptakan aura harmonis pendidikan.
Semestinya.
Nyatanya, hanya harapan belaka.
Comments
Post a Comment