mencoba blak-blakan
Saya punya sedikit cerita tentang hari kemarin.
Membuat saya sedikit ber-instrospeksi diri, mengevaluasi apa-apa yang selama ini salah pada diri saya.
Oke, cerita berawal dari warnet.
Habis ikutan Seminar Kesehatan Islami di fakultas kedokteran UGM, berhubung nggak punya kerjaan sampai waktu buka, saya iseng-iseng hotspotan di salah satu warnet di dekat rumah saya yang menyediakan layanan hotspot. Singkat cerita, saya chatting sama salah satu tetangga saya, sebut saja Ian, yang kemudian ngojok-ojoki (waduh, bahasanya) saya untuk ikutan buka bareng sama anak-anak remaja masjid. Wah, padahal, kemarin ketika saya menerima sms undangan dari salah satu panitia, saya sudah bertekad untuk nggak menghadiri acara itu. Alasannya : saya parno bahwa saya pasti jadi kambing congek di acara itu. Boleh dibilang, saya tidak terlalu akrab dengan remaja-remaja seumuran saya di komunitas itu, srawung ya cuma sekedarnya saja, dan lagi, saya orangnya canggung. Tapi berhubung di facebook tiba-tiba ketemu Ian yang notabene, bisa dibilang orangnya lumayan supel dan tidak canggung untuk mengajak saya ngobrol (tidak seperti yang lain-lain) mengajak saya untuk berangkat buber bareng, yowislah, menghadiri undangan kan lebih baik daripada tidak. Undangan adalah salah satu tanda bahwa kita, sebagai insan sosial, masih 'diorangkan' oleh masyarakat. Betul?
Alasan kedua, setidaknya dengan adanya Ian, saya nggak akan jadi kambing yang congek2 banget, hehe, setidaknya masih ada yang bisa diajak ngobrol konyol.
Jadi, karena kebetulan saya sama Ian ngenet di warnet yang lumayan deket, kami memutuskan untuk berangkat bareng.
Bubernya nggak cuma remaja. Ada anak-anak juga, lebih banyak malah. Secara remaja masjid di desa saya jumlahnya sudah semakin menyusut tiap tahun karena ada yang nikah, urbanisasi, merantau, dsb. Untuk nunggu waktu berbuka tiba, diadakanlah game yang mengharuskan anak-anak kecil ngasih 'kritikan' buat mbak-mbak dan mas-mas nya di situ yang udah gede. Tiap anak disuruh nulis kejelekan mbak-mbak dan mas-mas yang waktu itu berdiri di depan, kayak tersangka kasus penipuan di pengadilan.
Lihat apa yang saya dapat :
Friendika : jutek, senyume larang (mahal), pendiam.
Standing applause untuk yang menuliskannya.
Karena membuat saya jadi merenung semalaman.
Memangnya saya sejutek itu ya?
Semahal itukah senyum saya?
Padahal saya sudah mencoba untuk ramah pada semua orang lho. Asli.
Oke, pada saat-saat tertentu, ketika saya jadi kambing congek karena tidak ada satu orang pun yang bisa saya ajak ngobrol ataupun mengajak saya ngobrol, saya memang cenderung diam. Memangnya mau bagaimana lagi? Ketika saya nggak tau samasekali apa yang mau diomongkan, bukankah akan lebih baik kalau saya diam? Tapi rupanya kediaman saya diartikan lain oleh orang-orang di sekitar saya, ya. Mereka pikir saya diam karena malas ngobrol dengan mereka. Mungkin dianggap sombong juga. Jutek. Padahal, demi Allah, saya diam karena saya imbisil berbicara. Saya akui, saya sungguh idiot menyusun kata-kata untuk dirangkai jadi topik pembicaraan dengan orang yang tidak terlalu akrab dengan saya.
Jadi, apakah ini sebuah salah paham?
Semoga saja iya. Karena saya tidak pernah punya niat untuk menjadi jutek ataupun sombong.
Membuat saya sedikit ber-instrospeksi diri, mengevaluasi apa-apa yang selama ini salah pada diri saya.
Oke, cerita berawal dari warnet.
Habis ikutan Seminar Kesehatan Islami di fakultas kedokteran UGM, berhubung nggak punya kerjaan sampai waktu buka, saya iseng-iseng hotspotan di salah satu warnet di dekat rumah saya yang menyediakan layanan hotspot. Singkat cerita, saya chatting sama salah satu tetangga saya, sebut saja Ian, yang kemudian ngojok-ojoki (waduh, bahasanya) saya untuk ikutan buka bareng sama anak-anak remaja masjid. Wah, padahal, kemarin ketika saya menerima sms undangan dari salah satu panitia, saya sudah bertekad untuk nggak menghadiri acara itu. Alasannya : saya parno bahwa saya pasti jadi kambing congek di acara itu. Boleh dibilang, saya tidak terlalu akrab dengan remaja-remaja seumuran saya di komunitas itu, srawung ya cuma sekedarnya saja, dan lagi, saya orangnya canggung. Tapi berhubung di facebook tiba-tiba ketemu Ian yang notabene, bisa dibilang orangnya lumayan supel dan tidak canggung untuk mengajak saya ngobrol (tidak seperti yang lain-lain) mengajak saya untuk berangkat buber bareng, yowislah, menghadiri undangan kan lebih baik daripada tidak. Undangan adalah salah satu tanda bahwa kita, sebagai insan sosial, masih 'diorangkan' oleh masyarakat. Betul?
Alasan kedua, setidaknya dengan adanya Ian, saya nggak akan jadi kambing yang congek2 banget, hehe, setidaknya masih ada yang bisa diajak ngobrol konyol.
Jadi, karena kebetulan saya sama Ian ngenet di warnet yang lumayan deket, kami memutuskan untuk berangkat bareng.
Bubernya nggak cuma remaja. Ada anak-anak juga, lebih banyak malah. Secara remaja masjid di desa saya jumlahnya sudah semakin menyusut tiap tahun karena ada yang nikah, urbanisasi, merantau, dsb. Untuk nunggu waktu berbuka tiba, diadakanlah game yang mengharuskan anak-anak kecil ngasih 'kritikan' buat mbak-mbak dan mas-mas nya di situ yang udah gede. Tiap anak disuruh nulis kejelekan mbak-mbak dan mas-mas yang waktu itu berdiri di depan, kayak tersangka kasus penipuan di pengadilan.
Lihat apa yang saya dapat :
Friendika : jutek, senyume larang (mahal), pendiam.
Standing applause untuk yang menuliskannya.
Karena membuat saya jadi merenung semalaman.
Memangnya saya sejutek itu ya?
Semahal itukah senyum saya?
Padahal saya sudah mencoba untuk ramah pada semua orang lho. Asli.
Oke, pada saat-saat tertentu, ketika saya jadi kambing congek karena tidak ada satu orang pun yang bisa saya ajak ngobrol ataupun mengajak saya ngobrol, saya memang cenderung diam. Memangnya mau bagaimana lagi? Ketika saya nggak tau samasekali apa yang mau diomongkan, bukankah akan lebih baik kalau saya diam? Tapi rupanya kediaman saya diartikan lain oleh orang-orang di sekitar saya, ya. Mereka pikir saya diam karena malas ngobrol dengan mereka. Mungkin dianggap sombong juga. Jutek. Padahal, demi Allah, saya diam karena saya imbisil berbicara. Saya akui, saya sungguh idiot menyusun kata-kata untuk dirangkai jadi topik pembicaraan dengan orang yang tidak terlalu akrab dengan saya.
Jadi, apakah ini sebuah salah paham?
Semoga saja iya. Karena saya tidak pernah punya niat untuk menjadi jutek ataupun sombong.
aku tau pren..
ReplyDeleteitu juga gimana aku pertama kali liat kamu.. ngeriii..
hehehe
sayangnya orang2 disekitar kita masih banyak yang judge by it's cover ya..
Wah, aku jg ngerasa ga begitu deket sama remaja2 di lingkungan rumah
ReplyDeleteserba salah tiap ada acara bareng :S