Tiga Ketukan Palu Kehidupan

Belakangan ini saya banyak merenung tentang kehidupan.

Tapi jangan bayangkan saya merenung di tepi danau dengan pandangan kosong menerawang mega, atau di kelas saat kuliah kewarganegaraan. Bukan, bukan seperti itu. Diantara banyak pose dalam merenung, dua pose itu yang paling saya hindari. Pertama, karena memang nggak ada danau di sekitar tempat tinggal saya. Kedua, saya kok merasa nggak enak banget ya kalau harus menghabiskan kelas kewarganegaraan dengan merenung? Disamping kasihan sama dosen yang ngajar Kewarganegaraan (jadi inget kebiasaan SMA. Di kelas saya dulu, yang namanya guru PKn, atau Kewarganegaraan, atau yang semacam itu, hampir selalu dicuekin saat ngajar), saya pikir juga masih banyak kegiatan yang bisa dilakukan di kelas selain merenung. Hmm… nyanyi-nyanyi tanpa rasa bersalah saat bapaknya berkoar-koar tentang pentingnya menjadi warga negara yang baik nggak termasuk, tentunya.

Saya merenung sambil naik motor saat berangkat kuliah. You know, itu aktivitas kegemaran saya selama bertahun-tahun ini. Lumayan buat ngisi kekosongan saat hampir terkantuk-kantuk ngebut menempuh jarak 20 kilometer dari rumah saya di desa sampe kampus. Merenung tentang kehidupan di atas motor yang saya pacu dengan kecepatan 70 km/jam menurut saya lebih asyik ketimbang mendengarkan mp3 yang malah nambah-nambahin pusing karena kalau mp3 nya nggak distel dengan volume paling gede atau nggak full stereo, bakalan kalah sama bising knalpot motor di depan-belakang-kanan-kiri (Jogja makin penuh motor. What the FUN?!). Dan merenung di atas motor masih lebih mending daripada kebiasaan salah seorang temen jaman SMA saya yang tiap hari juga menempuh perjalanan kira-kira sama dengan perjalanan saya, yang dengan ringan ngobrolin kebiasannya di jalan, “Aku biasanya tidur sambil nyetang motor.” Tapi terlepas dari hal itu, saya memang tipe orang yang suka mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus dalam waktu yang sama (ini yang saya sebut efektifitas dan efisiensi waktu)—lagipula teman saya pernah bilang bahwa salah satu kelebihan saya adalah mengerjakan beberapa pekerjaan bersamaan :) (walaupun sekarang semakin terbukti bahwa itu tidak sepenuhnya benar, hanya pada hal-hal tertentu yang menjadi hobi saya saja).

Ceritanya, kemarin pagi saat berangkat sekolah, secara tidak sengaja saya melihat sebuah kecelakaan motor dalam jarak beberapa meter di depan saya. Saya nggak lihat secara langsung, yang saya lihat saat itu pengendara motor yang seorang bapak-bapak lumayan berumur sudah tergeletak di tepi jalan, darah menggenang di sekitar kepalanya. Banyak. Merah. Gelap. Sementara itu, seorang ibu-ibu berkerudung yang kayaknya membonceng bapak tadi menangis meraung-raung di samping tubuh bapak itu. Seketika orang-orang berbondong-bondong datang untuk menolong. Wah. Pemandangannya nggak enak banget waktu itu. Rasa kaget, cemas, takut, mau muntah karena di pagi buta seperti itu, belum sempat merasa lapar sudah dipaksa nambah ‘sarapan’ darah segar. Saya sempat berhenti sebentar, tapi kemudian segera melanjutkan perjalanan ketika rasa mual saya semakin menjadi. Saya nggak tahan mendapati apa yang saya lihat.

Mulai dari situ, saya mulai merenung. Tentang betapa absurdnya peristiwa yang akan terjadi di hidup kita. Satu menit ke depan, dua menit ke depan, lima jam ke depan, kita tidak tahu akan berada di mana, melakukan apa, dan dalam kondisi seperti apa. Yang kita tahu adalah kita tidak berhenti berharap, bahwa kehidupan masih terus akan mencumbu kita, membangunkan kita esok hari setiap kali kita memejamkan mata (kalau pada hari itu kita masih diberi waktu sampai malam). Tuhan begitu dermawan, tapi DIA sangat pelit membagikan misteri-Nya tentang masa yang akan datang pada kita. Kalaupun bapak-bapak yang kecelakaan tadi tahu lima menit setelah dia meninggalkan rumah sebuah motor ugal-ugalan akan menyerempetnya di jalan raya, tentu dia tidak akan ngebut dan tidak lupa mengenakan helm di kepalanya yang botak. Tapi siapa tahu dia akan berkesempatan bersalto ria lalu tiduran gratis tanpa pengganggu di aspal yang masih berembun?

Waktu yang kita butuhkan sebelum berjumpa dengan masa depan sangat singkat. Bagi saya, waktu yang tersisa saat itu tersekat-sekat menjadi 3 bagian utama. Biarkan imajinasi saya berkembang liar, dan oleh karenanya saya akan menganalogkannya sebagai 3 pukulan palu yang saya sebut pukulan palu kehidupan. Pukulan palu pertama, ketika Anda berencana mengambil sebuah keputusan. Ini sulit. Yang berperan bukan saja intuisi, tapi akal sehat. Meskipun sebagian orang menganut paham orang sukses adalah orang yang banyak bertindak, bukan berpikir. Tidak ada yang salah dengan pernyataan itu. Hanya saja tingkat ke-ekstrem-an dalam perwujudan pernyataan itu yang banyak berperan. Orang yang terlalu fanatik menganut paham seperti itu, kebanyakan tidak butuh waktu lama dalam memutuskan sesuatu. Dalam bahasa sederhana, kita menyebutnya gegabah. Padahal, tidak jarang juga gegabah menjadi faktor X paling besar yang menyebabkan kesuksesan seseorang lari terbirit-birit setelah ketakutan dengan nafsu seseorang yang sangat besar ingin segera menjumpainya (kok saya jadi ngelantur).

Pukulan palu kedua, ketika Anda harus memutuskan untuk menentukan pilihan. Ini bagian paling sulit. Butuh ketegasan untuk bisa mengeliminasi sekian banyak pilihan menggiurkan yang sebenarnya tidak cocok dengan diri Anda walaupun tampak sangat ‘wah’ diantara pilihan-pilihan lain. Dan untuk menemukan ketegasan itu, Anda butuh cinta (ini ajaran Mario Teguh) yang akan andai pakai sebagai landasan anda. Banyak orang yang gagal melanjutkan masa depan setelah melewati masa ini. Setelah menentukan pilihan yang sebenarnya tidak dilandasinya dengan ketegasan. Sebuah pilihan yang plin-plan. Saya memilih ini, tapi sebenarnya saya pengen itu… lalu tidak bisa merealisasikan apa yang sebelumnya merupakan kerangka rencana dalam pilihan itu secara maksimal. Oleh karena itu, dalam pandangan saya, di sini ketegasan sangat dibutuhkan. Ketegasan yang dalam artian lebih luas bisa diartikan sebagai kemantapan hati yang didasari kecintaan terhadap pilihan yang melahirkan keputusan.

Pukulan palu ketiga, ketika akhirnya anda tersenyum menyandarkan bahu anda yang letih pada kursi santai sambil memandang-mandangi hasil pemikiran Anda, hasil keputusan yang Anda pilih. Inilah manifetasi keputusan Anda, tentunya keputusan yang diambil dengan ketegasan yang berdasar kecintaan. Inilah titik akhir perjalanan Anda dalam menyongsong dan menemukan tiga ketukan palu kehidupan yang pertama. Seterusnya, Anda akan menjumpai ketukan-ketukan serupa di kesempatan lain kehidupan Anda.

Saya (dan pastinya juga Anda) tidak ingin ketika umur saya 50 tahun nanti, saya baru menyadari saya kurang mengetukkan palu-palu di masa muda saya. Paling tidak, mulai sekarang saya berusaha menata hidup saya agar ketukan-ketukan itu menjadi ketukan-ketukan yang berirama, sehingga rencana kehidupan saya lebih terarah, lebih terorganisir waktunya. Untung-untung ketukan itu bisa jadi irama teratur yang membentuk alunan lagu Indonesia Raya kita yang sudah lama terlupakan generasi muda. :)

Comments

  1. mbak pren, kok nggak posting lg ??, aku duwe konco sing sejenis karo kowe lho, tulisane apik, ada di link blogku. Sibuk apa skrg mbak pren ??

    ReplyDelete
  2. hai hep! wah.. sudah lama sekali ya kita tidak bersua! hahaha... :D
    tuh di atas udah posting lagi, he he he.
    sekarang? sibuk menjadi mahasiswa yang baik dan benar. hehehe. lha kamu? :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts