Suka Duka Jadi Relawan - Part I
Merapi mbledhos, sodara-sodara sekalian!
Ada yang belum tahu?
Wah.. tandanya mungkin listrik belum masuk desa anda, atau mungkin anda benar-benar tidak peka lingkungan kalau memang begitu adanya..
Well, Merapi benar-benar lagi pengen cari perhatian rupanya. Saya lupa sejak kapan persisnya, yang jelas sudah lama banget merapi kita tercinta lebih giat beraktivitas hingga menuntut Mbah Rono dan kawan-kawan menyematkan tanda AWAS! untuknya. Efeknya pun parah banget, dari mulai hutan dan pedesaan sekitar merapi yang rusak total sampai seratus sekian korban jiwa yang terenggut oleh kedahsyatan letusannya (let's pray for them, saudara-saudara kita, semoga mendapat tempat yang baik di sisiNya, amin).
Oke. Cerita saya di postingan kali ini berawal dari sebuah malam jumat yang (tadinya) tenang di hari ke 4 awal november.
Jam sebelas malam lewat sekian puluh menit. Di kosan, sendirian, habis merampungkan ringkasan biomaterial bahan laporan. perasaan saya nggak enak..
Mau tidur tapi nggak bisa bisa, dan entah karena alam sadar saya kurang sensitif atau apa, beberapa belas menit kemudian saya baru nyadar bahwa sebab musabab dari ketidaknyamanann saya itu adalah karena saya mendengar suara-suara. Yep, suara yang sangat tidak lazim. Bukan, bukan suara macam bisikan basilisk di Harry Potter, kok. Tapi suara gemuruh. Seperti petir. Tapi lebih halus, dan terus-terusan, di kejauhan. Insting saya mengatakan bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang. Dan benar saja, waktu saya akhirnya memutuskan untuk online twitter lewat hape butut saya, perasaan nggak enak saya akhirnya berakhir, berganti dengan perasaan cemas nggak ketulungan: orang-orang di twitter udah pada ribut kalangkabut ngomongin gemuruh merapi di kejauhan, di SEANTERO jogja.
Nah!
Jadilah malam itu saya nggak tidur, menyempatkan diri menyongsong hujan pasir yang pating klothak beradu dengan atap seng kos-kosan saya. Mendengarkan sanak saudara nun jauh di sana yang mengabarkan via radio republik indonesia bahwa di rumahnya udah hujan kerikil, bukan cuma pasir.
Dari situlah. 'The war' has been beginning, pikir saya.
Bahwa hari jumat 5 november itu, benar-benar kelabu. Secara denotasi, karena Jogja benar-benar kembali berwarna putih keabu-abuan karena abu :(
Lalu, hari jumat itu pulalah petualangan saya berawal. Bahwa saya sangat terenyuh melihat berita di TV yang, lepas dari tanda tanya apakah itu dilebaykan atau tidak, jelas-jelas menyodorkan drama kehidupan yang membuat berurai air mata. I cried. I did.
Pemandangan seperti itu, sungguh, bukan porsi saya sebagai manusia hore sebenarnya. Saya nggak tahan, nggak tega berkali-kali melihat balita kaku tertutup abu yang dibopong ke ruang jenazah, simbah-simbah yang matanya sembab air mata sementara kepalanya sudah terkungkung abu semua..
Seandainya ada hal berguna yang bisa saya lakukan untuk meringankan beban mereka, I would. Tapi bingung bagaimana caranya. Saya ini kan mahasiswa yang miskin harta. Kualifikasi medis? Belum punya.
Maka saya tahu inilah saatnya; ketika tiba-tiba ada berita kampus tercinta akan diliburkan sampai seminggu setelahnya. Inilah saatnya, memberikan apa yang sebelumnya tidak terpikir oleh saya karena terpikir betapa waktu membatasi ruang gerak kita : tenaga. Yep, memangnya punya apa lagi saya?
Maka sabtu pagi saya berjibaku ikut rombongan relawan FKG UGM, mengantar bantuan ke posko pengungsian, saya kebagian ke desa caturharjo, jalan magelang km 13.
Tapi rasanya ada yang aneh. Saya merasa proses pengantaran bantuan itu agak nggak nge feel. Karena di sana ya cuma ngantar barang, terus udah. Nggak bantu-bantu yang lain - kecuali mempraktikkan trauma healing buat anak-anak pengungsi supaya mereka tetap HORE selama di posko, nggak sedih keingetan rumah atau apa.
Nah. Hal itulah yang mendorong saya langsung bilang YA ketika diajak Mirsa, partner in crime number one untuk ndaftar jadi relawan di posko gelanggang UGM.
Dan begitulah. Senin, petualangan kami dimulai. Dengan Putri, partner in crime number two, kami akhirnya terdaftar sebagai relawan pendamping pengungsi yang nyatanya malah sok-sokan kerja di dapur umum. Setelah dengan sangat nggak jelas berusaha meyakinkan masnya petugas pendaftaran yang bermuka sangar demi menanyakan loyalitas kami.
Dan begitulah. Hari pertama penuh dengan ketidakjelasan. Mulai dari nglangut nungguin koor pendamping pengungsi yang katanya akan segera menghubungi kami yang notabene anggota baru tak tahu apa-apa ini. Tapi akhirnya malah dialihkan ke dapur umum. Dan pekerjaan pertama kami adalah.. eng ing eng.. ngupas bawang! hahaha.. bukan apa-apa sih, hanya saja, biasanya kalo bantuin ibu masak di dapur aja, yang cuma pake bawang 5-6 biji, saya udah nangis bombay waktu suruh ngiris. Lha gimana kabar ini yang bawangnya seember penuh? OMG - tapi untungnya bawangnya cuma suruh ngupas, bukan ngiris. Thanks God! :D
Hari pertama jadi relawan, semua masih berjalan baik-baik saja. Tanpa tahu apa yang menghadang di depan mata. Yang ada juga cuma semangat pantang kendur karena masih ada 6 hari tersisa : kontrak jadi relawan di gelanggang UGM satu minggu full. Demi meyakinkan mas sekretariat bahwa kami benar-benar niat.
Tapi semakin ke sini, semoga niatnya semakin lurus, deh.
Semangat! :)
Woaaaa.. ada yg dihapus to ini.
ReplyDelete*Hyak desshhh! Hyak deeshhh!*
hahaha heh mir udah bisa muncul lagi komenmu! ahahah senangnya :D
ReplyDeleteendingnya gmn ni? :)
ReplyDeletehaha, nggak bisa dibilang ending yang bagus mbak: faktanya, kami udahan di hari ke empat :p
ReplyDelete