Mbolang Mania (part I) - Jekarda Edition
"Ke Bandung, yuk!"
Kamis, 7 Juli 2011. Partner labil nomor satu saya, sebut saja namanya mirsa, tiba-tiba dilanda kegalauan yang amat sangat. Galau tingkat dewa, hanya karena satu alasan: doi ngebet banget pengen ke bandung. Saya pun sebenernya sudah lama banget punya hasrat terpendam jalan-jalan ke kota kembang itu. Sejak jaman-jaman SMA ketika teman-teman saya yang anak olimpiade sains pelatihan di sana dan diceritan betapa indahnya kota itu. Makanya, bak gayung bersambut, saya langsung mengiyakan dengan sangat antusias rencana dadakan itu. Walaupun kemudian kami menemukan kendala luarbiasa yang bikin galau tingkat dewa kami naik ke level dua. Bahwa salah satu teman kami, sebut saja namanya Tia, yang rencana awalnya mau ikut serta dalam rencana mbolang ini, tiba-tiba membatalkannya, karena nggak dapet ijin dari bapaknya *langsung lemes*. Dan tinggallah saya dan mirsa, pusing tujuh keliling memikirkan rencana superdadakan itu: kalo beneran jadi nekat berpetualang berdua, oke sih, tapi nanti dulu. Disana mau nginep dimana? Kemana aja? Transportnya pake apa?
Beberapa saat berlalu, saya baru ingat bahwa kamis pagi itu saya bangun oleh satu sms dari teman lama saya, teman sma, sebut saja namanya Arin. Kurang lebih smsnya:
"Jeng, ayok dolan! :( "
Nah. Otak kriminil saya seketika berputar dengan cepat. Marilah selanjutnya kita sebut Arin ini sebagai korban rencana pergembelan, karena pada akhirnya anak ini berhasil saya rekrut untuk ikut serta dalam liburan dadakan ini. Alasannya, salah satunya karena, anak ini sepertinya punya ikatan batin *heleh* tersendiri dengan kota bandung, mengingat seringnya dia bolak-balik pelatihan olimpiade astronomi di sana. Harapannya, dia punya banyak kenalan disana. Harapannya, kami bisa numpang bobok (dan makan) di tempat kenalannya itu. Harapannya, dia bisa diandalkan dalam menentukan rute pergembelan di kota kembang itu.
Yang lebih menngembirakan, sore menjelang petang saya mendapat kabar dari mirsa bahwa salah seorang teman kami, sebut saja namanya umi (yang kemudian mengajak satu temannya), juga punya rencana ke bandung saat itu. Jadilah, rencana awal kami tersusun manis: jumat sore naik kereta ekonomi AC 70 ribu ke bandung. Soal pesan-memesan tiket, katanya nggak usah khawatir, si umi ini ternyata punya kenalan 'orang dalem' di stasiun, yang notabene adalah tetangganya yang kerja di bagian pengumuman statisun tugu atau entah apa. What a nice weekend! :D
Kamis malam, mirsa, umi dan temannya, sebut saja sifa, dan arin, memberi kabar pada saya bahwa mereka benar-benar akan melancarkan rencana itu. Kondisi saya sendiri, waktu itu adalah, saya sedang terserang flu berat dan masuk angin, yang menyebabkan malam itu ibuk saya harus repot-repot bikinin tato ikan *baca : kerokan* di sekujur punggung saya. Sempet pesimis juga nggak bakal diijinin ke bandung dengan kondisi badan seperti itu. Sementara, ternyata jauh di Demangan dan Kotagede sana, mirsa dan umi dilanda galau tingkat dewa nungguin kepastian saya jadi mau ikut ke bandung atau enggak.
Singkat cerita, paginya setelah ngobrol ngalor ngidul dan meyakinkan ibuk bahwa saya baik-baik saja, sampe pake acara nyanyiin lagunya pinkan mambo segala bahwa aku baik-baik saja *ups* akhirnya saya diijinkan ke bandung lautan asmara *eh, api*. Langsung sms si panitia mbolang, mirsa dan umi. Tapi, sms umi yang masuk ke hape saya jam 8 pagi kurang sedikit membuat saya sedikit syok. Bahwa ternyata tiket kereta ekonomi Ac 70 ribu yang dijanjikan, sudah habis sampai tanggal 14 juli. Kami pun disodori 2 alternatif untuk berangkat ke bandung: naik kereta bisnis senja utama seharga 155 ribu atau mau nunggu sampai sabtu pagi demi mendapat tiket kereta ekonomi non AC 24 ribu yang memang harus dibeli langsung di hari H keberangkatan, dengan catatan harus rela ngantri dan siap mental kalau-kalau nggak dapet kursi. Kegalauan semakin memuncak ketika umi berpesan agar kami konfirmasi sebelum jam 11 kalau mau naik kereta 155 ribu itu, karena tetangganya yang orang stasiun itu pulang kerja sebelum jumatan. Sedangkan ketika saya mengabarkan hal ini pada Arin, dia menolak dengan halus ajakan untuk naik kereta bisnis itu, dengan alasan tiketnya terlalu mahal. Sementara kalau mau ditunda sampe sabtu pagi berangkatnya, artinya kami bakal mundur besok pulang ke jogjanya, padahal arin punya acara yang nggak bisa dibatalkan. Jadilah, keadaan hari jumat siang menjelang jam 11 benar-benar kacau. Lebih kacau dari kekacauan di dalam perang dunia II *maaf lebay* apalagi ketika akhirnya arin hampir mau diajak naik kereta bisnis dengan catatan dia mau menghubungi ibuknya dulu untuk meminta dukungan berupa uang subsidi, yang naasnya, saat itu ibuknya baru ada di kantor dan susah dihubungi. Sedangkan baik saya, mirsa maupun umi di kampus juga sedang grasa-grusu ngurus KRS remidi dan harus mengejar dosen pembimbing akademik demi mendapatkan tandatangan... Tapi untunglah, jam 11 siang kurang beberapa detik *serius, cuma kurang beberapa detik aja* arin akhirnya konfirmasi bahwa dia dapet ijin ibuknya dan karenanya bakal jadi ikut mbolang bersama kami. Whoa, thanks God! :D
Jadi akhirnya kami berangkat dengan kereta api bisnis senja utama dengan tiket yang (kata umi) seharga 155 ribu. Dengan mindset di kepala kami masing-masing bahwa kami HARUS hidup menggembel di bandung, karena harga tiket berangkat yang aduhai mahalnya telah menguras hampir separuh uang saku yang kami perkirakan akan cukup pada awalnya. Sesuai kesepakatan, jam 6 sore saya sudah nongkrong di stasiun Tugu, dengan hanya membawa 1 tas punggung dan 1 tas kecil untuk tempat dompet dan benda-benda kecil lainnya. Masih setengah nggak percaya bakal meninggalkan Jogja tanpa bapak-ibuk seperti biasanya. Duh! T.T
Dan akhirnya, sisa hari itu kami habiskan di dalam kereta. Seolah belum cukup kehebohan yang terjadi sepanjang pagi sampai sore hari itu, ternyata masih ada satu kehebohan bodoh yang terjadi ketika kami sudah ada di dalam kereta:
- Kami ternyata harus membayar tiketnya seharga 165 ribu, bukan 155 ribu. Usut punya usut, ternyata yang 10 ribu sisanya sebagai tanda terimakasih karena sudah di booking-in untuk tetangganya umi
- Kereta yang kami naiki ternyata tujuannya stasiun Pasar Senen. Ulang ya, PASAR SENEN. Dimanakah itu? Yup! Tepat sekali: Jekarda! Kenapa bisa begitu? Rupa-rupanya, otak perjalanan pergembelan itu (mirsa dan umi) telah mengubah rute tanpa woro-woro dengan resmi. Mereka sepertinya sudah menyinggung pengubahan rute itu sih, tapi entah saya yang nggak konek atau memang mereka ngomongnya nggak begitu gamblang, insiden kebodohan yang membuat baik saya maupun arin merasa terbodohi itu terjadi juga. Alasannya, karena di Jekarda akan ada yang menghidupi kami untuk sementara, seorang teman kami, sebut saja namanya Fira, yang dengan sangat baik hari bersedia menampung kami di rumahnya di daerah Tangerang. Tangerang? Oke, memang jauh dari jekarda, di luar propinsi bahkan. Tapi ya gimana lagi.. Sudah untung dikasih tumpangan.. Walaupun begitu, pengubahan rute itu tak ayal membuat saya dan arin mangap-mangap syok berat. Bukannya apa-apa, hanya saja, bapak-ibu kami kan nyangoni slamet buat ke bandung, bukannya jakarta --"
- Arin, salah satu partner nggembel saya, ternyata benar-benar melaksanakan idenya yang dia utarakan beberapa sebelumnya di sms kepada saya : "Eh ini beneran backpacker-an kan? Di sana bisa ngumbahi (nyuci) to?" Hmm you know, untuk nyuci butuh deterjen. Dan anak ini benar-benar membawa 1 sachet RINSO di tas kecilnya --"
Sabtu, 9 Juli 2011. Jam 5 pagi, kami akhirnya tiba dengan selamat di stasiun pasar senen, Jakarta. Disambut oleh langit temaram jakarta yang masih tampak gelap sekalipun fajar sudah sedari tadi menyingsing. DAN selain itu, kami juga disambut oleh bau busuk yang entah dari got atau kamar mandi sumbernya. Saya bersama umi dan sifa langsung menuju musholla terdekat untuk sembahyang subuh, sementara mirsa dan arin telah lebih dulu ngacir mencari "bank" untuk "nabung" tabungan alam. Sambil nungguin kedatangan pacarnya fira yang kabarnya bakal memandu kami menuju rumah fira di tangerang.
Dan akhirnya, mas pacarnya fira (duh, udah ditolongin kok nggak inget nanya namanya) datang juga, membimbing kami yang tampangnya sudah kucel gila dan mawut total, untuk naik bus kota jurusan tangerang. Perjalanan yang lumayan lama (kurang lebih 2 jam) tapi lumayan menyenangkan. Disamping karena pagi itu kami belum dibuat lemes sama polusi jakarta yang konon aduhai parahnya, tarif bus kota nya pun nggak nyekik. 2500 doang, sangat murah untuk ukuran perjalan jarak jauh yang ditempuh dalam waktu 2 jam. Sekitar jam 8-an, kami akhirnya sampai di rumah fira, di daerah perumnas tangerang. Dengan muka kusut, capek, lungset, ruwet, kami berlima kleleran gitu aja di depan TV. Sambil nyalain laptop kecil umi (sempet-sempetnya anak itu bawa laptop) untuk searching merencanakan bakal kemana kami sepanjang sisa hari itu. Dan akhirnya, kami memutuskan akan jalan-jalan ke kota tua, di daerah jakarta barat.
Di kota tua ada apa? Ada bangunan tua yang jelas. Dan beberapa museum seperti museum fatahillah, museum wayang.. Sayangnya kami nggak masuk ke satu persatu dari museum-museum itu, selain karena sudah sore dan museumnya tutup, juga mengingat kelangsungan hidup keuangan kami yang hampir menyinggung garis perbatasan --" Jadilah di sana kami hanya berfoto-foto ria, mulai dari foto sama ondel-ondel, foto di depan bangunan-bangunan tua, sampai (karena saking kehabisan idenya) foto sama tiang. Untung kami nggak lebih lama lagi menghabiskan waktu di situ, karena kalau enggak, saya khawatir kami bakal merengek-rengek sama abang penjual cireng agar bersedia meminjamkan gerobaknya untuk properti foto nggak jelas kami.




di kota tua
Mbolang edisi jakarta kami lanjutkan keesokan paginya, Minggu, 10 juli 2011. Rencana hari itu adalah jalan-jalan ke monas. Sementara baik saya, mirsa maupun arin berpendapat bahwa gagasan naik ke puncak monas adalah ide bagus, fira, umi dan sifa lebih memilih untuk cari makan. Di kemudian kami bertiga baru sadar kenapa mereka lebih milih makan daripada berniat naik ke puncak monas. Karena antrian naik ke puncak monas, sungguh nggak sedap dipandang. Bejibun gila! Sampai berpuluh-puluh meter ada kali. Mbak-mbak pusat informasi aja sampe berkali-kali ngumumin kalo antrian untuk naik ke puncak monas bakal makan waktu kurang lebih 4 jam. Whoa! Tapi ya gimana lagi, namanya juga cuma ada 1 lift berkapasitas 11 orang untuk sampai puncak... Saya sampe sempet berpikir kalau saja bisa bikin bambu untuk buat tangga darurat di sisi samping tugu raksasa itu..

di Monas
Di Monas, kami berpisah dengan sifa yang akhirnya dijemput mas pacar untuk melanjutkan perjalanan ke bandung. Sementara Umi juga minta diri untuk melanjutkan perjalanan ke rumah saudaranya. Ohya, sekedar info, selama hidup di sana, kami benar-benar menerapkan prinsip hidup pergembelan, diantaranya dengan:
- Sebisa mungkin nggak jajan. Lha makannya? Indomie, dong! Kami bahkan sempat mau menuliskan kisah kami untuk dikirim ke indomie supaya bisa jadi iklan di tv-tv, "ini ceritaku, apa ceritamu?" --"
- Tiap malam sebelum tidur, kami nggak lupa saling mengingatkan untuk membuat rekapan anggaran hari itu. Barangsiapa mengeluarkan paling sedikit uang, maka dia berhak menerima penghargaan sebagai Gembel of the Day (haha, nggak segitunya juga ding!).
- Saling mengingatkan ketika salah satu diantara kami lapar mata. Contohnya, ketika ada salah satu di antara kami yang ngebet pengen beli eskrim, yang lain akanm segera mengingatkan: "Ingat, kita ini nggembel!"
- Dalam perjalanan pulang dari monas, kami berencana makan KFC. Yah walaupun kami gembel, tapi ketika perut sudah berteriak dengan begitu memelasnya, kami pun nggak bisa menolaknya. Tapi ketika sampai di mall Karawaci, kami lagi-lagi mengubah rencana, hanya karena ada kesempatan lain yang menggiurkan; bahwa ternyata di mall itu ada D'Cost, tempat makan dengan kualitas bintang lima, harga kaki lima yang bahkan menawarkan es teh dengan harga 250 rupiah tiap gelasnya. Betapa harga itu sangat cocok bagi kami! :D
Dan untuk sementara sampai perjalanan mbolang part I itu berakhir, inilah rekapan dana yang saya habiskan sejak dari Jogja:
- Tiket kereta api bisnis senja utama : Rp 165.000
- Tarif parkir inap untuk 5 hari di stasiun tugu : Rp 20.000
- Makan popmie di kereta : Rp 6.000
- Keperluan p3k (tolak angin, minyak, tissue) : Rp 24.400
- Bus kota Senen-Tangerang : Rp 2.500
- Indomie untuk persediaan mbolang : Rp 8.400
- Bus kota untuk transport kota tua : Rp 12.500
- Bus kota tujuan Monas : Rp 3.000
- Tiket masuk Monas (dengan KTM) : Rp 1.000
- Tiket naik puncak Monas (dengan KTM) : Rp 3.500
- Bis + angkot pulang dari Monas : Rp 7.000
- Makan : Rp 14.000
- Snack bekal perjalanan ke bandung : Rp 5.000
- Bus Primajasa Jakarta-Bandung : Rp 45.000
- Total : Rp 317.300
Mbaca postingan ini ane jadi inget kalo ane melewatkan banyak hal yang mau ane ceritain! HAHAHA ane juaranya pikun --"
ReplyDeleteAyo lanjutgan! ;D
huahahaha :p ngakak !
ReplyDelete@mircung : hmm..setuja, ayo lanjutgan! :D
ReplyDeletewaaaaaa prentuuuuuuuulll *ehem ternyata kamu kesusu pas minta ttd DPA karena alasan ini toh*
ReplyDeleteaku yo pgen ke jekardah,bandung oh my... T__T
hahaha.. tepat sekali bid! wkwkwk pas kuwi sakjane aku lagi galau banget sumpah.. hihihi..
ReplyDeletehmm ayo kapan2 mbolang neng bali wae *ups*
hahaha ayo bentuk panitia dolan2! kumpulkan massa!
*ngajari sesat*