Mbolang Mania (Part II) - Bandung Edition
Minggu, 10 Juli 2011.
Jam 6 petang kurang sekian menit. Terminal Leuwi Panjang masih sibuk dengan segala hiruk-pikuk angkutan kotanya. 3 gembel lugu (lucu tur wagu, -red) turun dari bus Primajasa dengan tampang nanggung (nanggung antara meyakinkan dan agak bingung). Padahal kami sudah sekuat tenaga berusaha pasang muka stabil, biar nggak ketauan kalo kami ini turis domestik yang disorientasi (padahal udah jelas-jelas bawa ransel segede gaban). Mungkin gara-gara muka dimana masih tersisa tanda-tanda disorientasi itulah, seorang mamang supir angkot langsung memanggil kami dari kejauhan dan tergopoh-gopoh mendatangi kami seraya bertanya:
"Mau kemana neng?"
Adegan selanjutnya, 'basa-basi' standar khas supir angkot dengan calon penumpang. Kami dengan polosnya mengatakan mencari bus Damri jurusan Dago. Si mamang langsung menjawab dengan muka sangat meyakinkan bahwa jam segitu sudah nggak ada bus Damri yang beroperasi. Entah itu benar atau nggak. Toh akhirnya nggak kurang dari dua menit kemudian kami udah nangkring di dalam angkot yang katanya bisa nganterin kami menuju Dago, dengan catatan nanti kami harus turun di deket samsat untuk nyari angkot lagi yang warna putih untuk bener-bener sampai Simpang Dago. Sepanjang perjalanan, kami dengan agak was-was berkali-kali berpandang-pandangan. Keluguan mulai luntur dari otak kami. Ini kok jalannya lama banget, berasa cuma muter-muter.. Jangan-jangan kami kena kibul... Tapi beberapa saat kemudian akhirnya kami turun juga, bukan di deket samsat tapi di bawah jembatan layang. Untung nggak lama kemudian angkot putih yang dimaksud cepet dateng. Di angkot putih itu, saya dilanda kegalauan level advanced . Karena yola belu juga bales sms. Ditelepon pun nggak bisa *langsung di kepala backsoundnya lagunya Veristina: ditelepon nggak bisa, disms nggak dibales, apa sich maumu? HAHAHA*
Kegalauan akhirnya sirna seketika saat sms yola masuk ke hape saya, menginstruksikan untuk tetap melaksanakan rencana semula; turun di Simpang Dago, cari McD terdekat dan tunggu jemputan yola di situ. Dan begitulah, turun dari angkot kami langsung celingak-celinguk kayak anak ayam kehilangan induknya, tapi bedanya ini kami nyariin McD, bukan nyariin induk ayam, jadi bisa saya nyatakan bahwa kami bukan ayam *lho*. Di depan mcD, kami duduk dengan tampang koma di sebelah patung McD yang sok santai itu. Pun begitu, masih sempat kami foto-foto. Belum sepenuhnya nyadar kalo muka udah nggak memenuhi standar buat dijepret kamera, kayaknya. Atau mungkin itu bentuk ekspresi paling jujur yang menggambarkan apa yang ada di benak mereka - bahwa duit di kantong tinggal puing-puing semata (ini saya bicara tentang 2 rekan gembel saya, bukan saya, haha).

gembel2 berdompet mengenaskan di depan McD
Untunglah beberapa menit kemudian akhirnya yola datang juga. Yola yang masih seperti dulu saja, melas dan teraniaya. Melas karena tiba-tiba kedatangan gembel-gembel nggak tau diri yang bukannya dateng bawa oleh-oleh, tapi bawa bau badan dan upil segede gaban. Teraniaya karena malam itu dia terpaksa tidur di sofa di luar kamar kosan, demi memberikan tempat yang layak bagi gembel-gembel dadakan ini *huaa yola memang top bgt deh!* #pelukyola. Setelah basa-basi dan kangen-kangenan bentar, kami lalu memutuskan untuk cari makan malam dulu. Yola dengan sangat pengertiannya menunjukkan warung makan dengan harga yang nggak bikin kantong mahasiswa jebol tiba-tiba.
Rute pergembelan selanjutnya adalah menuju kosan yola. Sekedar info, awalnya yola mengumumkan bahwa kosannya sungguh amat minimalis, sampai aku aja bingung mau naruh pantat dimana, katanya. Tapi memang yola sejak lahir mbakat jadi orang baek, dengan sangat relanya dia membagi tempat bernaung untuk kami.
Jam setengah 8 lewat sekian menit. Semangat jiwa petualang kami masih saja menyala-nyala. Rencananya, kami mau jalan-jalan dulu ke mall. TANPA mandi dulu. Kenapa? Karena baju yang ada di dalam ransel kami sungguh amat sangat terbatas. Rencana mencuci baju dengan 1 sachet rinso tinggallah rencana. Yang ada juga, cuma sebungkus baju kotor yang baunya bisa bikin pingsan orang kalo dibuka tiba-tiba. Jadilah, setelah minta petuah dari yola mengenai jalur yang harus kami tempuh untuk sampai Ciwalk, kami benar-benar mewujudkan ide jalan-jalan malam itu, dalam kondisi butuk (belum mandi, -red). Sepanjang perjalanan, kami nggak berhenti ngoceh memuji kesejukan bandung. Setelah selama hampir dua hari terpapar polusi ibukota yang amboi pekatnya.
Cihampelas Walk lumayan ramai. Pertanyaan utamanya; apakah kami kesana untuk belanja? Tentu saja tidak! Jadi, apa yang kami lakukan? Foto-foto. Ulang, foto-foto. Dengan berpuluh-puluh mata memandang dengan aneh ke arah kami. Mungkin kami dikira orang kampung (memang kami hidup di kampung, sih, haha) yang belum pernah pergi ke mall samasekali. Ah, tapi sebodo teuing, yang penting hore.

mohon maklum. belum pernah ke Ciwalk.

gaya sok oke

konsepnya apaan sih? saya sendiri kok kurang paham --"

mupeng doang,
soalnya kantong kami udah teriak-teriak melambaikan white flag
Dan cihampelas walk menjadi saksi berkhianatnya salah satu gembel, sebut saja arin, pada prinsip yang kami pegang teguh sejak pergembelan itu dimulai. Karena dia nggak bisa menahan hasrat untuk belanja di sana, barang buktinya berupa sebuah jaket MU seharga 150 ribu *ups, maap sebut merek dan harga, HAHAHA*. Dan gagallah dia menjadi gembel of the day pada hari itu...
Jam sebelas malam kurang sekian menit, kami sudah sampai lagi di kosan yola. Dengan bau badan yang amboi parahnya. Mengantongi sebuah cerita bodoh yang rencananya sih, nggak akan kami share ke anak cucu *oposih*. Bahwa dengan begitu dodolnya kami sempet hampir nyasar. Hanya karena sepintas liat tulisan McD di pinggir jalan yang kemudian membuat kami reflek bilang "kiri, kiri" tanda mau turun pada mamang sopir angkot. Padahal, McD itu, bukanlah McD Dago. Padahal di angkot itu kami dapet tempat duduk yang sungguh amat sangat strategis. Karena jejeran sama Daniel Radcliffe KW 2. Hahaha, seorang bule berkacamata yang mukanya 11-12 sama Daniel Radcliffe. Ah, seandainya kami nggak terlalu grasa-grusu mengira McD itu adalah McD Dago... *ngopo? ora popo sih sakjane, wkwk, hanya saja, duit 3000 nggak akan melayang karena nggak harus nyari angkot kedua*. Jadi begitulah, hari itu ditutup dengan mandi malam-malam (yang ternyata superdingin, jauuuh beda dengan ketika mandi di Jekarda, yang subuh-subuh aja airnya masih anget gila).
Senin, 11 Juli 2011.
Terbangun dengan semangat baru. Melihat 2 partner mbolang saya yang masih terkapar tak berdaya yang satu di atas kasur yang satu melantai (wuih, melantai) pengen banget rasanya bikin indomie kuah buat mereka. Ralat, yang kuahnya buat nyiram mereka (biar kayak cerita indomie yang diplesetin di kaskus itu, gan).
Jam 8 pagi kurang sekian menit, setelah (seperti biasa) menodong yola untuk bikinin kami peta pulang-pergi ke tempat tujuan, akhirnya kami naik angkot menuju terminal. Terminal apa namanya saya lupa, kalo nggak salah sih terminal Ledeng. Tujuan kami hari itu adalah, Tangkuban Perahu. Disana, dengan langkah pasti kami langsung manut ketika dibujuk rayu oleh seorang petugas terminal yang pada akhirnya membuat kami terperangkap di dalam angkot jurusan Lembang selama lebih dari satu setengah jam. Kenapa? Karena ternyata angkot itu nggak bakal berangkat sebelum dipenuhi penumpang. Sedangkan waktu itu kami bertiga adalah penumpang pertama. Ulang, pertama. Berbagai macam umpatan dari mulai telo sampai combro pun mulai berdengung-dengung di telinga kami, ketika angkot itu nggak kunjung jalan. Gimana mau jalan, dihidupin mesinnya aja belum. Bahkan kami sampai sempat curiga kalo sebenarnya angkot itu sedang mogok dan emang udah berhari-hari dibiarin nganggur begitu nungguin dibenerin sama montir. Karena hal itulah, kami hampir menjelma menjadi preman terminal yang sempet ngancem mau bakar angkot kalo nggak berangkat-berangkat. Haha, oke, tentu saja cerita bebakaran angkot hanya ada di kepala kami.
Jam 10.15, akhirnya sopir angkot yang kami nanti-nantikan datang juga. Perjalanan menuju Lembang sungguh menyenangkan. Setengah terbayar deh penantian kami selama satu setengah jam terakhir, oleh indahnya pemandangan di kiri-kanan. Perbukitan yang sungguh sejuk dan masih ijo. Sempat berkhayal pengen punya rumah di sana suatu hari nanti. Huhuhu, pasti nyaman sekali :)
Di pertigaan sebelum jalan naik menuju puncak Tangkuban Perahu, kami turun. Nggak sempet celingak-celinguk nyari transport untuk naik, karena serta merta kami disambut sama mamang yang menawarkan angkutan naik ke atas. Kami digiring masuk angkot bercat putih, lalu si mamang dengan fasihnya membuka diskusi mengenai tatacara berikut biaya untuk naik ke puncak. Di dalam angkot itu, hampir-hampir kami kena serangan jantung dadakan karena berkali-kali dibikin syok oleh penjelasan mamang:
- Tarif angkot ke puncak adalah 60 ribu.
- Tarifnya yang 60 ribu itu, ternyata per orang, bukan 3 orang.
- Tarifnya yang 60 ribu itu, ternyata hanya untuk sekali perjalanan semata. Khusus naik doang. Untuk turun, ya kami harus bayar 60 ribu lagi. Artinya, kami harus merogoh kocek 120 ribu untuk perjalan naik-turun Tangkuban Perahu. Tentu saja muka kami langsung koma banget waktu itu. Galau tingkat dewa. Otak kami pun meraung-raung membunyikan sirene BAHAYA.
Ketika akhirnya sampai puncak Tangkuban Perahu, kami sibuk mangap-mangap oleh indahnya pemandangan di sana. Asap putih mengepul dari kawah-kawah menganga, langit sendu yang tertutup kabut putih yang tipis.. Sungguh romantis *lho?*

Tangkuban Perahu

numpang ngeksis di puncak
Setelah puas foto-foto di puncak, rute pergembelan dilanjutkan: turun menuju Kawah Domas. Sebenarnya ada 2 kawah lain yang nggak kalah okenya di Tangkuban Perahu, yaitu kawah ratu dan kawah upas. Tapi kami lebih tertarik untuk menjelajah ke kawah Domas, karena konon kawah domas ini satu-satunya kawah yang masih aktif di sana; bahkan sampai bisa merebus telur dengan memasukkannya ke dalam kawah. Ajaib. Dan perjalanan menuju kawah domas benar-benar panjang dan makan stamina, supermelelahkan. Menuruni undak-undakan kayu dengan bingkai hutan di kiri-kanannya. Benar-benar sepi, sejuk, mana waktu itu mataharinya malu-malu..
Ketika akhirnya sampai di kawah domas, kami mangap-mangap semakin lebar. Takjub. Subhanallah banget pemandangannya. Kawahnya benar-benar masih aktif. Disana-sini ada kawah-kawah yang berasap dan plupuk-plupuk tanda mendidih. Sedikit ada rasa bangga bisa nyampe kawah domas jalan kaki langsung dari puncak, sementara wisatawan-wisatawan lainnya hanya berjalan kaki dari parkiran dengan rute yang jauh lebih singkat. Sedikit menghibur diri, kami telah berhasil membuktikan pada dunia, bahwa kami keren, bukan pemalas, enerjik, dan karenanya berhak mendapatkan sertifikat kehormatan Mbolang Mania *oposih*.

ekspresi kepuasan berhasil mencapai kawah domas

kami nggak ngerebus telur di kawah (karena nggak punya duit buat beli telur),
tapi juga nggak melakukan perbuatan kriminil macam membuang sampah ke dalam kawah.
sebagai gantinya, kami numpang kosokan dan nyuci sendal --"
Puas main-main di kawah domas, kami melanjutkan perjalanan balik ke atas. Nah. Perjalanan penuh perjuangan dimulai. Selain kali ini kami mendaki dan bukan menuruni bukit, rute yang harus kami lalui bukanlah jalan raya yang ramai dan gembira *opoto* tapi hutan belantara. Seakan fakta itu masih kurang seru, di tengah perjalanan tiba-tiba hujan turun. Sungguh labil cuaca di puncak sore itu. Bahkan lebih labil daripada mirsa *ups*.
Saat akhirnya keluar dari hutan dan berjumpa kembali dengan jalan raya, kami sempat dilanda kebingungan antara dua pilihan; mau naik lagi ke puncak atau turun menuju Lembang. Diskusi yang alot dan panjang pun harus kami lalui. Diskusi yang agak parah karena otak kami rupanya nggak bisa diajak kompromi oleh kenyataan bahwa perut kami keroncongan. Tapi akhirnya kami memutuskan untuk turun. Jalan kaki. Nggak mungkin mau naik angkot lagi. Padahal, jarak yang harus kami tempuh kurang lebih 4 km. Benar-benar hari yang sangat naas untuk kaki kami. Yang menjadikan kaki-kaki kami pahlawan tak terlupakan yang akan senantiasa dikenang zaman *eh*.

perjalanan panjang nan mengenaskan
Ketika akhirya sampai di Lembang, mata kami yang jelalatan menangkap hamparan hijau kebun teh yang ngawe-awe untuk didatangi. Yaaaay! Kebun teh! Entah sudah berapa lama hati ini mendamba untuk jalan-jalan ke kebun teh.. Hua.. yang jelas, dengan semangat 45,9 kami langsung jingkrak-jingkrak menuju kebun teh. Untuk foto-foto, ngapain lagi? Hahaha.

kebun teh! :D

entah apa maksud foto ini
Tujuan pergembelan selanjutnya adalah Observatorium Bosscha. Ketika sampai di pintu masuk kawasan Bosscha, saya dan mirsa sempat sedikit syok. Betapa tidak, lagi-lagi kami berjumpa dengan jalanan yang menanjak tiada akhir T.T Sepanjang perjalanan, saya dan mirsa ngomongnya sudah ngelantur nggak jelas, bener-bener udah mirip orang ngigau saking capeknya. Sementara Arin, dengan semangat 45 memberi dukungan semangat kepada kami. Menyemangati kami untuk terus memaksa mengencangkan sekrup-sekrup di kaki.
Bosscha, tempat paling romantis untuk mengamati bintang-bintang *ups, ini kata salah seorang teman saya, sih*. Sedikit nih saya mau cerita tentang Observatorium Bosscha. Katanya wikipedia, observatorium ini dulunya bernama Bosscha Sterrenwacht, dibangun oleh Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Bintang Hindia Belanda. Pada rapat pertama NISV, diputuskan akan dibangun sebuah observatorium di Indonesia demi memajukan Ilmu Astronomi di Hindia Belanda. Dan di dalam rapat itulah, Karel Albert Rudolf Bosscha, seorang tuan tanah di perkebunan teh Malabar, bersedia menjadi penyandang dana utama dan berjanji akan memberikan bantuan pembelian teropong bintang. Sebagai penghargaan atas jasa K.A.R. Bosscha dalam pembangunan observatorium ini, maka nama Bosscha diabadikan sebagai nama observatorium ini. Pembangunan observatorium ini sendiri menghabiskan waktu kurang lebih 5 tahun sejak tahun 1923 sampai dengan tahun 1928.
Publikasi internasional pertama Observatorium Bosscha dilakukan pada tahun 1933. Namun kemudian observasi terpaksa dihentikan dikarenakan sedang berkecamuknya Perang Dunia II. Setelah perang usai, dilakukan renovasi besar-besaran pada observatorium ini karena kerusakan akibat perang hingga akhirnya observatorium dapat beroperasi dengan normal kembali. Kemudian pada tanggal 17 Oktober 1951, NISV menyerahkan observatorium ini kepada pemerintah RI. Setelah Institut Teknologi Bandung (ITB) berdiri pada tahun 1959, Observatorium Bosscha kemudian menjadi bagian dari ITB. Dan sejak saat itu, Bosscha difungsikan sebagai lembaga penelitian dan pendidikan formal Astronomi di Indonesia.
Cukup lah ya cerita sejarahnya. Ketika sampai di depan pintu gerbang Bosscha, kami disambut oleh tulisan TUTUP besar-besar di papan yang dicentelin di pagar itu. Tapi ternyata salah satu partner gembel saya, arin, lumayan terkenal di Bosscha. Ceritanya, gembel satu ini *ups, maaf rin, haha* pernah agak lama menetap di Bosscha, tercantum sebagai salah satu peserta tim olimpiade astronomi yang mendapat pelatihan di sana. Dengan dalih mau silaturrahmi pada mantan pembimbingnya, sebut saja beliau Pak Irfan, akhirnya kami dengan sukses bisa masuk dan mendapatkan tour gratis ke tempat-tempat paling terlarang untuk umum di Bosscha. Salah satunya ketika kami diperbolehkan naik ke altar (duh, apa sih namanya) di ruangan tempat Teleskop Refraktor Ganda Zeiss berada. Dan menjadi saksi bahwa altar itu bisa dinaik-turunkan dengan begitu ajaibnya. Juga proses anggun pembukaan kubah di atasnya yang segede gaban. Sempat berandai-andai, seandainya saja punya kesempatan untuk nonton bintang-bintang dengan teleskop itu.. Tapi harapan itu seketika pupus ketika saya dapet info bahwa untuk bisa neropong harus daftar dulu, dan, untuk dapet giliran butuh waktu kurang lebih 1 tahun. 1 tahun! Oh my..

numpang narsis di Bosscha

Teleskop Refraktor Ganda Zeiss
Petualangan kami hari itu nggak berhenti di Bosscha. Ketika akhirnya sampai di Dago, masih ada 1 agenda yang nggak boleh terlewatkan: keliling Distro demi mendapat satuuu saja kaos berharga terjangkau demi kelangsungan hidup kami sampai besok pagi. Tapi ternyata dari sekian banyak distro yang pating tlecek di daerah itu, kami nggak menemukan satu pun kaos yang harganya sesuai dengan keadaan dompet. Huh! Padahal, sumpah, saat itu kaki saya sudah aduhai sekali sensasinya. Pegeeeeeel minta ampun. Rasanya pengen dicopot sebentar aja T.T
Dan akhirnya petualangan hari itu berakhir juga, setelah sempat agak grasa-grusu mencari dimana gerangan letak toko Brownies Amanda berada. Ini juga yang aneh. Jauh-jauh ke Bandung, saya sama mirsa ngebet nyari brownies amanda yang di jogja pun ada. Heleh..
Di kamar yola, hal pertama yang kami lakukan setelah mandi adalah dengan membabi buta membuka bungkus Salonpas lalu bagi-bagi koyo seperti halnya bagi-bagi sembako. Malam itu, kami tidur dengan kaki penuh koyo dengan sensai yang wow..
Selasa, 11 Juli 2011.
Saatnya pulang. Jam 3 pagi lebih sekian menit kami telah terjaga. Berangkat mandi dengan semangat empatlima. Akhirnya nggak lama lagi bakal kembali berjumpa dengan Jogja tercinta. Tentunya, dengan kereta ekonomi yang tiketnya seharga 24 ribu rupiah saja. Maka jadilah, kami bergegas menuju stasiun Kiara Condong. Berkali-kali mengucap syukur kami nggak kehabisan tiket. Dapet tempat duduk. Bisa-bisa saya pingsan kalau harus berdiri di kereta, sampai Jogja.
Naik kereta ekonomi ternyata jauh lebih seru. Beberapa kenyataan super gokil yang kami dapatkan di dalam kereta diantaranya:
- Banyak pedagang asongan yang menjual barang-barang dengan harga yang bikin mata ijo. Bayangkan, 1 kotak strawberry harganya seribu rupiah saja. Kaus kaki sepuluh ribu empat pasang. Bisa kaya beneran kayaknya kalau belanja bulanan di sana --"
- Pedagang minuman biasanya menjajakan dagangannya dengan kata-kata "Qua, qua, qua, mijon, mijon" nah di kereta ekonomi itulah kami mendapati satu-satunya pedagang minuman yang fasih berbahasa inggris. Buktinya, dia benar-benar melafalkan MIZONE dengan mai-zon dan bukannya mijon. Kami pun lalu yakin bahwa skor TOEL nya pastilah tinggi..
- Pedagang-pedagang di kereta menambahkan sisipan unik di tengah nama dagangan yang hanya terdiri dari dua suku kata. Misalnya, bukannya kopi tapi karopi, tisu jadi tarisu, tahu berubah menjadi tarahu. Saya dan mirsa sampai sempat menganalisis jangan-jangan kata batagor juga lahir di dunia karena sebab yang sama, mendapat sisipan di tengahnya. Jadi, nama aslinya mungkin bagor dan bukannya batagor.
- Pedagang kopi menjajakan kopi dengan jargon: "Karopi, karopi, karopi, biar pinter, biar pinter.." --> oke, untuk yang satu ini apa dia udah melakukan penelitian pada orang-orang yang udah bertahun0tahun minum kopi, ya? apakah terbukti mereka itu pinter?
- Menjelang siang, mirsa yang duduk di sebelah saya tiba-tiba meringis-ringis dengan muka yang sangat aneh. Selidik punya selidik, ternyata setelah saya amati, dia duduk beratapkan ketek seorang bapak-bapak yang berdiri di sebelahnya yang basah keringat dan saya yakin baunya pasti amboi sedapnya.
Dan, sebagai penutup, ijinkanlah saya menjlentrehkan rekapan dana selama pergembelan di Bandung:
- Angkot ke Dago (2x) : Rp 8.000
- Angkot ke Ciwalk (PP) : Rp 4.000
- Angkot Dago - terminal : Rp 2.500
- Angkot terminal - tangkuban : Rp 10.000
- Tiket masuk tangkuban : Rp 13.000
- Angkot naik tangkuban : Rp 25.000
- Makan Indomie di Lembang : Rp 6.000
- Aqua : Rp 3.000
- Angkot balik dari Lembang : Rp 6.000
- Angkot ke Bosscha : Rp 3000
- Angkot balik ke Dago (2x) : Rp 5000
- Nasi kuning Dago : Rp 6.000
- Nasi rames Dago : Rp 6.500
- Tiket kereta ekonomi Pasundan : Rp 24.000
- Total : Rp 122.000
Jadi, kalau ditotal perjalanan perbolangan Jakarta-Bandung selama kurang-lebih 5 hari adalah sekitar Rp 317.300 + Rp 122.000 = Rp 439.300,00. Hmm.. Lumayan banyak sih, tapi lumayan lah untuk pemula macam kami.. *lumayan boros maksudnya*. Tapi ternyata setelah dicermati, pengeluaran paling banyak adalah di biaya transport. Jadi, buat temen-temen yang berniat backpacker-an (baca : mbolang), saya sarankan agar perencanaan mengenai transport benar-benar dipikirkan matang-matang. Kalau di kota tujuan untuk pergi ke tempat-tempat yang dituju memungkinkan untuk jalan kaki, ya sebisa mungkin jalan kaki saja, jangan manja *ceileh gayanya* Tapi kalau di sana ternyata ada saudara/teman/kenalan yang bisa dimintain tolong untuk nebengin kemanapun anda mau pergi, ya itu tentunya lebih baik lagi, hahaha.
Apapun, kapanpun dan dimanapun, yang jelas Jogja tetap di hati :')
mbaaaak, kalo ke bali aku ikuuut dooong. ayuuuukk :D btw mbolangnya hbs berapa duit mbak jadinya? rekap dana dong ahaha :D
ReplyDeleteoh iya. rekapan dananya belum kutulis. entar deh kuedit, haha.
ReplyDeleteehm bali?
oke. ayok kapan? :p
mbak,, ulang, mbak, belajar nawar ma mbok ku dulu. biar biaya transport ga membengkak tingkat sumpah. :)
ReplyDeletehahahaha iyaa. udah nawar lho. udah pake suara yang disunda2in padahal. kayaknya supir2 angkot itu udah bisa mendeteksi kebohongan kami yang pengen mengelabui mereka dengan logat sunda (yang sedikit medok) --"
ReplyDelete