Aku tahu, tapi aku yakin kita bisa melewatinya
Satu tahun memang bukan waktu yang lama. Tapi juga bukan waktu yang singkat bagi dua orang yang sebelumnya terasing dan tidak pernah saling bertegur sapa untuk berusaha mengenal satu sama lain. Bukan, yang kumaksud tentu saja bukan mengenal dalam artian sempit, yang terbatas pada nama dan dimana tinggalnya saja. Tapi lebih pada mengenal jiwa. Entitas masing-masing diri kita.
Telah kukatakan jauh sebelumnya, bahwa ada hal-hal yang memang tidak semestinya kita tahu, yang senantiasa menjadikan kita ingat betapa terbatasnya akal manusia. Tapi, tidak jarang juga Dia yang Maha Pemurah membiarkan kita mengintip satu diantara berjuta rencana baik yang dipersiapkan Nya untuk kita. Kadang, Dia memberikannya dalam wujud bingkisan tak terduga bertajuk ketidaksengajaan. Dan kemudian kusebut dia sebagai sebuah ketidaksengajaan yang indah. Seperti waktu itu. Perbincangan denganmu di sebuah sore dengan segelas teh yang hampir dingin, yang kemudian meniadakan aku dan kamu dalam kita dua bulan setelahnya.
Kemudian, cerita kita mengalir seperti air. Lucu sebenarnya. Bagaimana tidak. Kau pikir bagaimana mungkin tiba-tiba saja aku mau menyempatkan meladenimu, seorang asing yang bahkan tidak pernah kutahu jati diri dan wujudnya sebelumnya bahkan hingga bisa aku bercerita apa saja? Percayalah, kisah kita disponsori oleh permainan takdir dengan Allah, sang maha pembolak-balik hati, sebagai sutradara utamanya. Kamu pun demikian. Ijinkan aku untuk berkata jujur bahwa sebenarnya saat itu tak pernah henti aku bertanya-tanya bagaimana mungkin kamu mau meluangkan waktu untuk berjam-jam ngobrol di telepon denganku. Percakapan yang sebagian besar tidak penting (tapi menyenangkan) yang selalu saja membuat kita sama-sama lupa waktu. Lupa bahwa ada saat bernama tengah malam yang menjadi titik temu dua hari yang berbeda. Sama-sama enggan mengakhiri obrolan meski hari sudah berganti. Sama-sama berusaha melupakan bahwa kamu ada kursus dan aku ada kuliah pagi.
Aku dan kamu. Dua kata yang kemudian menjadi satu saja: kita. Aku kehilangan kata-kata untuk menyebutmu sebagai apa. Waktu itu, kamu bagiku seperti pelangi di senja hari. Nyatanya sekarang kamu lebih dari sekedar pelangi. Kamu tidak lagi jauh, dan setelah semua proses yang kita alami beberapa waktu ini, kamu menjadi sangat dekat. Sangat, sangat dekat. Sampai aku kehabisan kata untuk menyebutmu sebagai apa. Saking dekatnya hingga kadang aku merasa kamu jauh lebih memahamiku daripada diriku sendiri.
Itulah kenapa aku selalu merasa menjadi anak kecil di depanmu. Karena kamu selalu tahu kenapa aku, jauh melebihi kemampuanku untuk memahami diriku.
Terimakasih untukmu yang selalu menemaniku. Aku tahu jalan kita masih panjang. Dan seberapa banyak orang di luar sana dengan masing-masing keraguan dalam benaknya. Aku tahu. Tapi aku yakin kita bisa melewatinya. Aku percaya kamulah yang telah dipersiapkan Nya untuk semua ini, mengepaknya rapi menjadi bekal yang akan kita bawa dalam perjalanan panjang yang kutahu akan begitu melalahkan. Namun bagiku, cukuplah kebersamaan kita menjadi obatnya. Meski dalam perjalanan ini kaki dan lenganmu akan berdarah-darah terluka sebegitu rupa oleh batuan tajam dan ranting yang melintang. Ijinkan aku yang membalutnya dan merawatnya hingga kita temukan tempat nyaman untuk bersinggah pada akhirnya.
Karena aku, mencintaimu.
Aku dan kamu. Dua kata yang kemudian menjadi satu saja: kita. Aku kehilangan kata-kata untuk menyebutmu sebagai apa. Waktu itu, kamu bagiku seperti pelangi di senja hari. Nyatanya sekarang kamu lebih dari sekedar pelangi. Kamu tidak lagi jauh, dan setelah semua proses yang kita alami beberapa waktu ini, kamu menjadi sangat dekat. Sangat, sangat dekat. Sampai aku kehabisan kata untuk menyebutmu sebagai apa. Saking dekatnya hingga kadang aku merasa kamu jauh lebih memahamiku daripada diriku sendiri.
Itulah kenapa aku selalu merasa menjadi anak kecil di depanmu. Karena kamu selalu tahu kenapa aku, jauh melebihi kemampuanku untuk memahami diriku.
Terimakasih untukmu yang selalu menemaniku. Aku tahu jalan kita masih panjang. Dan seberapa banyak orang di luar sana dengan masing-masing keraguan dalam benaknya. Aku tahu. Tapi aku yakin kita bisa melewatinya. Aku percaya kamulah yang telah dipersiapkan Nya untuk semua ini, mengepaknya rapi menjadi bekal yang akan kita bawa dalam perjalanan panjang yang kutahu akan begitu melalahkan. Namun bagiku, cukuplah kebersamaan kita menjadi obatnya. Meski dalam perjalanan ini kaki dan lenganmu akan berdarah-darah terluka sebegitu rupa oleh batuan tajam dan ranting yang melintang. Ijinkan aku yang membalutnya dan merawatnya hingga kita temukan tempat nyaman untuk bersinggah pada akhirnya.
Karena aku, mencintaimu.
#speechless
ReplyDelete#mbrambangi
keren mbak pren :")
Hik.. Terimakasih adek :')
ReplyDelete