...Story of a BlacK Rose...

Pertama kali Adit melihatnya, Senin pagi saat dia terpaksa naik bis ke sekolah karena ban motornya bocor. Dari kaca jendela bis yang seakan diberi efek blur karena uap, Adit melihat sosok gadis bertongkat itu, mengais-ngais sampah di selokan pinggir jalan di bawah gerimis yang sejak dini hari mengguyur Jogja.
Ihh... dasar pengemis, di selokan jalan gitu mana ada makanan? Batin Adit saat itu, sambil masih terus memandangi gadis berpakaian compang-camping yang ditebaknya sebagai pengemis. Adit membayangkan dirinya yang ada di sana, dengan tongkat pendek melakukan aktivitas yang sama seperti gadis itu. Plastik-plastik basah yang bau, sampah-sampah dapur yang membusuk, iih... mana tahan? Adit hampir saja muntah, kalau saja lampu hijau di perempatan jalan tidak segera menyala. Lalu lintas kembali berjalan seperti biasa.
Adit melupakan gadis pengemis itu, sampai akhirnya, hari ini, satu minggu dari hari itu, dia kembali terpaksa berangkat sekolah naik bis. Bukan karena ada masalah lagi dengan motornya, tetapi karena cuaca sedang benar-benar tidak bersahabat pagi ini. Hujan turun sangat deras, disertai petir yang menyambar-nyambar. Angin besar juga sesekali bertiup di pagi yang begitu dingin ini. Adit tidak mau ambil resiko terjebak badai di jalan, apalagi jarak rumahnya sampai sekolah lumayan jauh, sembilan kilometer. Terlalu suntuk dengan keheningan mencekam di dalam bis, Adit melayangkan pandang keluar jendela bis. Matanya memicing menangkap sosok gadis berambut panjang yang duduk memeluk kaki, bersandar pada benteng makam, berteduh di bawah atap terpal pedagang kaki lima yang biasa berjualan di situ pada malam hari.
Adit mengalihkan pandangan ke depan, jalanan macet. Bis yang dinaikinya berhenti total, menunggu kesempatan untuk meneruskan perjalanan saat arus kendaraan di depan sedikit renggang. Kembali Adit menoleh pada gadis itu. Pada pakaiannya yang tipis dan kusut, roknya yang sudah sobek di sana-sini, pada tubuhnya yang—Adit bisa melihatnya dari kejauhan—menggigil kedinginan... Ah, Adit jadi iba juga melihatnya. Entah kenapa rasa itu tiba-tiba saja datang, mendorong Adit untuk turun dari bis, menghampiri gadis pengemis itu, memberikan switernya yang hangat... Tapi...
Ada ulangan kimia, nggak boleh telat... bisik Adit pada dirinya sendiri. Sekilas Adit sempat kembali menengok gadis itu, dan... oh... dia membalas tatapan Adit dengan sorot memohon!
Bis kembali melaju.
¡@%#^&*$^
Matahari bersinar sangat terik siang ini. Melahap dengan rakus manusia-manusia yang hanya bisa pasrah menahan perihnya sengatan panas sang surya—yang seperti masih kurang saja penderitaan manusia-manusia itu, masih ditambah dengan rasa lapar yang menusuk-nusuk perut. Adit adalah salah satu manusia kelaparan yang ‘dilanda’ kepanasan itu. Di atas motornya yang melaju di jalanan yang macet, untuk mengalihkan perhatian dari perut yang seakan menjerit minta makan kepadanya, pikirannya melayang-layang entah kemana.
Jgleg!
Motor yang Adit naiki tiba-tiba mati. Adit tersadar dari lamunannya. Ternyata pikirannya sudah terlalu jauh berkeliaran di pinggir jalan yang ramai, dan saat dia sadar, didapatinya motornya tidak mau hidup lagi. Ahh..sial! pekik Adit dalam hati. Mau tidak mau Adit turun dari motor, menuntunnya ke trotoar, lalu mengecek bensinnya. Masih penuh. Trus kenapa mati?
“Motornya macet, ya?” sapa seorang cewek dari balik punggungnya. Adit menoleh, mengernyitkan dahi kaget. Gadis pengemis itu kini berdiri di depannya.
“Hah? Iya,” jawab Adit singkat. Adit mundur sedikit, tidak mau ambil resiko mencium bau yang tidak sedap karena berdekatan dengan gadis kumal itu.
“Di deket sini ada bengkel. Mau aku anter?” tawarnya. Adit mengamati wajah gadis itu, ada ketulusan terpancar dari dua bola matanya yang—hei, sama sekali tidak memandang Adit sedikitpun. Mata itu menerawang jauh, seakan menghindari tatapan Adit… Sombong banget, sih!
“Beneran, deket?” tanya Adit. Tanpa menjawab pertanyaan Adit terlebih dulu, gadis itu melangkah meninggalkan Adit. Segera Adit menuntun kembali motornya, menyejajarkan langkahnya dengan gadis itu, yang berjalan sambil sibuk meraba-raba tanah dengan tongkatnya.
Gadis ini buta!
Baru Adit tahu kenapa sejak tadi gadis ini tidak memandangnya.
“Kan aku udah bilang bengkelnya deket,” tiba-tiba cewek itu menjawab pertanyaan Adit yang tadi. Adit sedikit kaget dan bingung.
“Kamu kok tau aku ngikutin kamu?”
“Memang kamu pikir setiap orang buta juga pasti tuli?” sahut gadis itu, tanpa menoleh kepada Adit. “Langkah kaki kamu kedengeran, tau!” tambahnya, kali ini menoleh pada Adit, plus seulas senyum yang… Whoa, Adit merasa dirinya pasti sudah gila karena takjub sama senyuman pengemis yang… manis banget. “Tuh bengkelnya di depan,” katanya kemudian, sontak menghentikan langkahnya, membuat Adit ikut-ikutan berhenti. Memang ada bengkel motor dalam jarak dua meter dari tempatnya berdiri.
Tanpa pamit, Adit melangkah menuntun motornya ke bengkel itu. Dia tampak berbincang sebentar dengan sang montir, menjelaskan bahwa tadi tiba-tiba saja mesinnya mati, kemudian duduk di kursi tunggu bengkel itu. Tapi… hei… Adit belum sempat mengucapkan terimakasih pada gadis buta tadi! Adit langsung berjingkat keluar dari bengkel, mengejar si gadis buta yang berbelok masuk gang sempit.
“Hei!” panggil Adit. Gadis tadi berhenti, berbalik menghadap Adit.
“Kenapa? Bengkelnya tutup?”
“Nggak. Cuman mau bilang… Makasih ya!”
Gadis itu tersenyum, kemudian meneruskan langkahnya. Adit memutuskan untuk menguntitnya. Ada sesuatu pada gadis ini yang menarik rasa keingintahuan Adit.
“Kamu ngapain ngikutin aku?”
“Kok kamu tau?”
“Insting aja.”
“Nama kamu siapa sih?” tanya Adit. Gadis itu membisu. “Kamu nggak punya nama ya?” goda Adit.
“Iya,” jawab gadis itu, mantap.
“Haha. Lucu banget. Ngelawak nih, ceritanya?”
“Kamu pikir?”
“Masa ada orang nggak punya nama?”
“Aku lupa namaku siapa.”
“Kamu hilang ingatan?”
“Mungkin,” jawabnya. Adit Mendengus kesal. Nih cewek kalo ngomong bayar kali ya… batin Adit. Adit memandang sekeliling, tanpa sadar ternyata mereka sudah lumayan jauh berjalan. Sekarang Adit berdiri di depan pintu sebuah gubuk kayu di tepi sungai yang kumuh.
“Kamu tinggal sama siapa?”
“Sendiri,” kata gadis itu, kemudian melangkah membuka pintu gubuk reyot itu.
“Kamu nggak pulang? Kamu kan masih pake seragam, nggak baik mampir-mampir. Lagian ngapain sih, kamu ngikutin aku?”
“Dari mana kamu tau kalo aku pake seragam?” tanya Adit. Gadis itu mengangkat bahunya. Kali ini Adit menyerah. Rupanya omongan gadis ini benar-benar mahal.
“Ya udah. Makasih ya tadi dah nganterin ke bengkel,” kata Adit, kemudian berlalu.
!@#$%^&*^$
“Dit, ntar malem jadi kan ke pensinya SMA 9?” Rachel mengangsurkan dua tiket pentas seni yang memampang gambar salah satu grup band yang lagi naik daun, Ungu. Tapi Adit mengacuhkannya. Rachel mengikuti arah pandangan mata Adit, yang sedari tadi tak lepas dari pintu gerbang sekolah. Ngapain sih Adit ngeliat ke sana terus? Ada siapa sih? Rachel bertanya-tanya kebingungan, karena nyatanya di pintu gerbang tidak ada siapa-siapa. Memang sih, ada gadis kumal penjual es rujak yang biasa mangkal di situ. Tapi mana mungkin gadis seperti itu menarik perhatian Adit? Yang ada juga cewek-cewek seperti dirinya—yang cantik, berkulit putih, rambut panjang lurus tergerai, modis, dan terpelajar, tentunya—yang bakal membuat cowok secakep Adit tahan untuk tidak berkedip dalam lima detik pandangan pertamanya. Tapi yang membuat Rachel heran adalah, berbeda dengan cowok-cowok lain sekelas Adit di SMA Merpati yang langsung klepek-klepek sama dia—yang notabene cewek terkece di sekolah—sampai detik ini Rachel belum juga bisa membuat Adit naksir padanya.
“Gimana? Jadi kan, Dit?” ulang Rachel. Kali ini akhirnya Adit nengok juga. Tapi hanya untuk pamit.
“Bentar ya,” katanya, kemudian beranjak meninggalkan Rachel yang masih duduk—kali ini dengan muka kesal karena dicueki Adit—di bawah beringin besar yang tumbuh rindang di halaman depan SMA Merpati. Sejujurnya, satu jam terakhir sejak Rachel tiba-tiba duduk di samping Adit yang lagi baca komik, Rachel memang sudah dicueki sih, sama Adit. Dan sekarang, fakta bahwa Adit tiba-tiba pergi meninggalkannya untuk menghampiri gadis rujak di pintu gerbang itu membuat Rachel melotot keheranan. Adit? Mau beli es rujak??? Rachel melotot keheranan. Adit kan nggak suka makan buah?? Karena saking penasaran, akhirnya Rachel mengikuti Adit.
“Ya ampun… jadi kamu tuh jualan disini? Kok aku nggak pernah liat ya sebelumnya?”
“Kamu nggak pernah nongkrong di sekolah kali. Kamu kan anak rumahan,” Adit dan gadis rujak tertawa berbarengan. “Kamu mau?” gadis rujak menawarkan seplastik rujak pada Adit, tapi Adit buru-buru menggeleng. Adit benar-benar anti buah. Gadis rujak masih menyodorkan seplastik rujak itu. Adit baru ingat kalau gadis di depannya ini tidak bisa melihat gerakan kepalanya.
“Eh… nggak usah, makasih. Aku nggak suka makan buah,” tolak Adit. Gadis di depannya mengernyit kebingungan. Adit menebak pasti gadis ini menganggapnya makhluk paling aneh di dunia. Mana bisa orang tidak suka buah? Dan memang begitu adanya. Gadis rujak sekarang tertawa terbahak-bahak, menertawakan keanehan Adit.
Sementara Rachel yang sedari tadi mengawasi adegan mencengangkan di pintu gerbang itu, hanya bisa mengerjap-ngerjapkan matanya tidak percaya. Adit, cowok paling kece yang selama ini dikecengeinya ngalor-ngidul, yang dia pikir hanya berteman dengan orang-orang high class seperti dirinya, ternyata berteman dengan si buta penjual rujak yang dulu biasa dia tipu dengan pergi begitu saja tanpa membayar terlebih dulu setiap kali dia dan teman-temannya membeli rujak dalam porsi besar. Lalu pada suatu saat ada adik kelas yang menangkap basah dirinya tidak membayar es rujak yang dimakannya, kemudian adik kelas yang rupanya biang gosip itu menyebarkannya ke teman-temannya. Jadilah nama Rachel tercemar gara-gara kebiasaan jeleknya terbongkar ke seluruh sekolah. Sejak saat itu, Rachel benci banget sama gadis penjual es rujak itu, dan bertekad tidak akan pernah beli es rujak lagi. Dan sekarang, kebencian itu semakin bertambah oleh fakta menyebalkan bahwa, ternyata Adit akrab sekali dengan gadis itu.
Rachel berbalik pergi dengan langkah dongkol.

...to be continued...

Comments

Popular Posts