Ewer-ewer

“Oke, saya rasa untuk hari ini cukup sampai sini saja. Saya mau ada pertemuan dengan Ibu Menteri Kesehatan beberapa jam lagi. Selamat siang,” pamit dosen bertubuh gempal yang kini sibuk mengemasi dokumen-dokumen bahan ajarnya di meja depan. Sejurus kemudian pria botak itu melangkah keluar ruangan, menyisakan keletak-keletak sepatunya pada keramik yang mengkilat. Yang harus kubayar berpuluh-puluh juta hanya untuk menginjaknya.

“Woy, Ivan! Pulang kapan? Duluan ya, buru-buru jemput Susi nih!” Hendra yang duduk di sebelahku menepuk bahuku, mengajakku beranjak dari dunia lamunanku yang terkantuk-kantuk kembali ke dunia nyata. Aku mengangguk sambil tersenyum sekilas. Masih belum hilang senyumku saat Hendra menghilang di balik pintu. Jujur, sejak pertama kali aku bertemu Hendra sampai hampir dua tahun ini berteman dengannya, tak pernah sedetik pun kekagumanku padanya berkurang.

Di mataku, Hendra sungguh figur pemuda yang perfect. Anak pejabat, muda, tampan, ramah, calon dokter pula. Tidak heran kalau hampir separo mahasiswi di universitas paling bergengsi di Jogja ini tergila-gila padanya. Sebenarnya bukan hanya mahasiswi saja, sih. Kenyataannya ada juga mahasiswa yang menaruh hati padanya sejak lama. Lalu kenapa gosip yang beredar adalah, mahasiswi-mahasiswi di universitas ini terperangkap dalam pesona Hendra yang melenakan, bukan mahasiswa-mahasiswa? Ah, entahlah. Mungkin karena hanya ada satu mahasiswa saja yang dengan sangat gila membiarkan perasaannya berkembang menjadi sesuatu yang tidak lazim ini.

Mungkin hanya aku saja.

***

Skenario hidup setiap orang memang berbeda.
Bukan, ini bukan garis takdir yang dilukiskan oleh Tuhan, yang mereka bilang adalah yang paling berkuasa atas segalanya. Masa bodoh. Prek. Semenjak bertahun-tahun lalu aku menyangsikan keberadaan Tuhan. Di mana Tuhan saat umurku delapan tahun, dengan mata kepalaku yang masih naif, kusaksikan Ayahku yang dituduh mencuri ayam tetangga dihakimi warga desa sampai tewas? Di mana Tuhan ketika Nia, adikku yang ke empat meregang nyawa di ruang tunggu puskesmas karena menunggu antrian yang diserobot begitu saja oleh bapak-bapak bermobil BMW? Di mana Tuhan ketika adikku yang ke lima tercebur ke Code saat dikejar petugas karena mengamen di perempatan jalan? Tuhan tidak ada. Kalaulah ada, pastilah Dia sangat tidak berperasaan.

Itulah alasan kenapa aku percaya bahwa skenario hidup seseorang ditentukan oleh orang itu sebagai sutradaranya, bukan Tuhan sebagai yang mahakuasa.
Hidup ini sepenuhnya sandiwara. Aku sendiri yang mengatur adegan demi adegan, babak demi babak mencengangkan setiap harinya. Bukan Tuhan, melainkan akulah yang mendorong Mamak dan adik-adikku pindah ke perumahan kumuh di bantaran Code ini, untuk menghilangkan jejak dari para warga beringas haus darah yang membunuh ayahku. Aku yang memilih menyekolahkan adikku di SMP favorit di kota ini, meskipun harus kukorbankan harga diriku dengan mengamen untuk menutupi kekurangan finansial di sana-sini. Aku sendiri yang memutuskan mengisi formulir pendaftaran fakultas kedokteran UGM dan menyanggupi penawaran beasiswa dari pemerintah daerah dua tahun lalu, saat nilai ujian SMAku memuaskan. Kalau toh akhirnya beasiswa itu sekarang seret, adalah keputusanku untuk tetap melanjutkan kuliah demi mewujudkan cita-citaku menjadi dokter untuk mengobati bangsa yang semakin sakit ini. Aku sendiri yang menentukan hari ini, sejak pagi hingga malam, saat aku mengendap-endap keluar dari kamarku yang pengap, memastikan adikku yang masih SMP sudah terlelap di bale-bale reyot di ruang depan sambil memeluk Mamak. Lalu keluar rumah, merasakan dinginnya angin malam yang menghembus sampai sumsum tulang. Hanya demi kelangsungan kuliahku sebagai calon dokter. Semoga.

Skenario gubahanku pulalah yang membuatku berada di sini sekarang. Di salah satu ruangan berukuran 3 x 3 meter di markas bencong bantaran Code yang remang-remang, memantulkan cahaya kekuningan lampu 10 watt pada sebuah kaca besar di pojokan. Kuamati dengan cermat setiap gerakan lambat seorang wanita yang mematut-matut wajahnya di depan cermin itu. Bagaimana dia menyisir rambutnya dengan penuh perasaan, saat dia melapisi wajahnya dengan bedak hingga hampir seputih mayat, kemudian mengoleskan maskara tebal pada bulu matanya yang lentik, lalu eye shadow, lalu lipstik merah manyala, pemulas pipi, pensil alis, menyisir rambutnya yang terurai sebahu sekali lagi, menyemprotkan parfum nyong-nyong yang bakal membangkitkan berahi setiap lelaki yang menciumnya, lalu selesai sudah. Wanita tadi berubah menjadi wanita berdandanan supermenor yang pernah kulihat.

“Jeng Evi… ayo! Sudah jam tujuh lebih ini… nanti keburu malem, ndak ada orang di jalan!” seorang wanita supermenor yang lain tiba-tiba muncul di ambang pintu bergorden lusuh. “Ayo, jeng!” suaranya bariton. Suara pria. Wanita di depan cermin beranjak, meraih gandengan wanita di ambang pintu. Mereka keluar ruangan beriringan, yang ternyata disambut beberapa wanita berdandanan serupa di ruangan berikutnya. Wanita bersuara bariton menggandeng seorang wanita lagi yang duduk dengan begitu feminimnya di sofa, kemudian melenggang dengan anggun keluar dari markas kumuh itu.

“Jeng Evi, nanti, seperti biasa Jeng Evi spesialis instrumen ewer-ewer ya, eik di vokal, lalu jeng Novi nanti ikut bantu-bantu kita aja…”

“Ah…kalo soal itu mah, beres… Jeng Loli tenang aja…”

Aku hanya manggut-manggut mendengarkan percakapan itu. Biasanya juga memang begitu. Beberapa menit lagi sampai di warung soto Mang Mudin, dan tugasku, seperti biasa, menunggu musik ecek-ecek dimainkan, intro, lalu dengan suara merduku aku akan melantunkan “ewer-ewer…!” andalanku. Terdengar konyol memang, tapi ewer-ewer ku terbukti selalu ampuh membuat pria-pria pengunjung warung soto itu merogoh saku tebal mereka, lalu berpindah tempat dan berewer-ewer lagi, lalu… sim salabim! Bagai bermain-main dengan sulap, dalam satu malam aku bisa mengumpulkan separo lebih biaya satu bulan kuliahku.

Malam ini, suasana warung soto Mang Mudin agak lengang. Maklum, habis hujan. Orang-orang biasanya malas keluar rumah dingin-dingin begini.

“Kuteringat hati…”

“…ewer-ewer…”

“…yang bertabur mimpi…”

“…ewer-ewer…”

“Kemana kau pergi cinta?”

Jeng Novi memainkan ecek-eceknya diiringi suara merdu Jeng Loli, sementara aku, seperti biasa, menikmati sensasi tersendiri dari ewer-ewer yang kulantunkan. Di tengah-tengah keasyikan itulah, baru kusadari sepasang mata di sudut sedari tadi memandangiku tanpa berkedip. Tatap mata yang sepertinya mengenalku.

Hendra!

Tatapan kami bertemu, sementara aku gelagapan menutup mulutku yang melongo kaget mendapati Hendra ada di sana. Tidak, lelaki yang kucintai tidak boleh melihatku melantunkan ewer-ewer dalam keadaan secantik ini sekalipun!

“I… Ivan???!” terlambat. Aku tidak sempat melarikan diri sebelum Hendra menyadari siapa gerangan lelaki pecundang di balik makeup tebal ini.

Comments

  1. hahaha... kalau ada tulisannya "true story" mantap beud !

    untung cuma fiksi , kan mba?

    ReplyDelete
  2. true story? ehm.. menurut kamu?
    hahaha :D

    ReplyDelete
  3. hahaha....gud..jayid, tapi agak kabur sedikit ceritanya

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts