Rei - keping I

Di tengah indahnya imajinasi tentang senyummu yang mengambang serasi dengan gemercik air hujan, aku menggigil. Bukan kedinginan, melainkan ketakutan. Menyadari fakta menyeramkan bahwa kaulah satu-satunya kenangan yang tersisa dari masa lalu yang indah. Masa lalu yang pernah sama-sama kita punya, dengan puluhan nama-nama lain yang beterbangan di taman surga. Yang masih bisa kubawa serta, menjadi teman penghangat relung hati yang basah bah dunia. Yang kini memunculkan sebuah namun, karena mereka telah menemukan jalan masing-masing di jagad yang tak terukur besarnya.

Ya, meski senyum yang kukulum menggambarkan bahagia, jiwaku melanglang entah kemana. Tak kutahu dimana, tapi kusadar apa yang menyebabkannya. Namamu terlalu suci untuk masih berada di sini. Hadirmu terlalu utopis rasanya, hingga aku merasa sedang menjelajah alam mimpi. Ijinkan benakku menanya sebuah kenapa. Ketika yang lain tergesa meneruskan perjalanan dalam diam seribu bahasa, kau biarkan alur hidupmu merayap lambat, seakan ingin menikmati setiap detil gerak yang terkira indah. Indahkah bagimu? Jawab aku, memang benar adanya, atau itu hanya laku semu untuk mengaburkan perasaan iba.

Aku tidak lagi begitu banyak berharap. Memang sedari dulu kaulah satu-satunya nama yang dengan lancang merobek pertahanan kerajaan hatiku—dan sampai sekarang pun begitu. Tapi keadaannya telah sangat berbeda; terlebih karena telah sekian kali aku bangun setelah terjatuh dalam kubangan yang tak pernah kukira dalamnya. Dalam sekali ternyata. Sejatinya ya, tanpa kutahu alasannya, aku masih saja terperangkap dalam perasaan tolol yang kusebut cinta untukmu. Tapi lagi-lagi harus kukatakan, keadaannya telah sangat berbeda. Cintaku padamu telah menjelma menjadi sesuatu yang sangat menakutkan; tanpa sadar aku membiarkannya bermutasi menjadi sesuatu yang sangat mengancam kewarasan jiwaku. Maka aku menjinakkannya, dengan cara mengurangi kadar harapku pada jawabmu.

Lalu aku akan menertawakan diriku sendiri. Kedengarannya aku tak lebih dari sekadar pecinta munafik yang enggan menunjukkan totalitas demi ego. Gengsi. Totalitas untuk mencintaimu, bahkan aku tak sanggup mengambil risikonya. Dulu kubilang kunyatakan cintaku tanpa mengharap balasan darimu; nyatanya, aku berjuang setengah mati setelahnya, melawan perasaan menyakitkan yang masih berujung tanda tanya apakah aku tidak diterima. Dan kau pun begitu, menanggapi pernyataanku itu tanpa jawaban, hanya ungkapan empati.

Maka kuibaratkan cintaku kini tak lagi semenggebu rona mawar merah. Aku kini mencintaimu dengan cara yang lebih sederhana, sesederhana rona padma di kolam teratai kita. Ah, selalu ada perasaan menggelegak seperti ini ketika kupaksa lidahku bertutur tentang kolam itu. Perasaan aneh yang rasanya menyogok pangkal tenggorokku, seperti baru saja keluar dari dada dan memaksa dilahirkan ke dunia. Apakah itu? Apakah buluh rindu?

Biarkan kutanggung perasaan ini, ketika harga diriku rasanya jatuh ke ujung kaki: aku menangis seperti anak kucing kehilangan induknya ketika rinduku padamu tak tertawarkan. Setiap hari kupaksa diriku berlagak tegar menghadapi semuanya, namun ternyata itu tidak mengelakkanku dari keadaan yang benar-benar kubenci sebenarnya, ketika tanpa alasan kurasakan sepi sendiriku mencekik urat-urat napas di leherku, seakan telah siap mengirimku ke alam keabadian. Sekonyong-konyong aku benar-benar akan mengharapkanmu hadir menjadi penawar hatiku yang meregang nyawa di ranjang pesakitan. Meski sangat sakit, memaksa benakku melayang ke saat-saat kau selalu ada. Sangat perih, menyadari hawa kekosongan yang menenggelamkan kenangan indah bersamamu.

Comments

Popular Posts