Tea for Two - Love is Like a Coin with Two Sides!

Libur telah tiba!

Senangnya… Well, seperti yang sudah-sudah, liburan kali ini saya sambut dengan sukacita. Eh, nggak juga ding. Malah, lebih sukacita daripada liburan yang kemarin-kemarin. Kenapa? Karena saya punya banyak rencana dengan teman-teman untuk mengisi liburan. Yeah, of course, yang saya maksud dengan ‘rencana’ ini tidak lain dan tidak bukan adalah rencana jalan-jalan. Padahal sebenarnya, liburan semester ganjil ini belum officially dimulai, lho. Menurut kalender akademik UGM (yang nggak dikasih ke anak angkatan lama, angkatan baru aja yang dapet – saya nggak tahu memang ketentuannya seperti ini atau sebenarnya ada jatah untuk mahasiswa lama tapi ketlingsut entah kemana) liburan semester ini baru dimulai tanggal 8 sampai 13 februari mendatang. Hello… liburan macam apa itu, liburan akhir semester kok cuma satu minggu… Saya yang asli jogja dan nggak harus kemana-mana bahkan untuk sekadar jumpa keluarga barang lima menit saja sih oke-oke saja… Lah, temen-temen yang asli Papua atau Kalimantan sana, apakabarnya? Jadilah, saya dan teman-teman hore saya sudah merencanakan liburan jauh-jauh hari (bahkan dari sebelum UAS dimulai, sudah menyiapkan rencana jalan-jalan liburan. Hahaha, padahal nyiapin belajar buat UAS nya aja belum, udah main mau liburan aja…). Touring ke Dieng, naik gunung Sindoro, berpetualang ke gua cermai… Hmm… sound like great plans for an unforgettable holiday. Haha. Padahal ini belum ada jaminan nasib nilai-nilai semester ganjil saya baik-baik saja. Tapi nggak apa-apa deh. Toh pelaksanaan rencana-rencana itu juga bakal nunggu sampe pengumuman nilai dan remidial disebarluaskan secara tuntas oleh pihak pengajaran, demi kejelasan nasib kami. Artinya, mungkin sampai seminggu ke depan I’m totally free from charge… eh, nggak, maksud saya, saya punya banyak waktu luang yang bisa saya gunakan untuk melakukan hal-hal positif yang selama ini terlupakan.

Yep, salah satunya, melahap banyak novel gratisan yang bisa dipinjam dari perpus kota. Kemarin saya berhasil menemukan 2 novel yang sepertinya menarik. Bukan, bukan novel sastra ‘berat’ macam Rara Mendut-nya Romo Y.B. Mangunwijaya atau Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer. Yeah, walaupun sebenarnya kemarin saya sempat berniat meminjam 2 buku itu, tapi urung karena, Rara Mendut-nya masih dipajang di lemari display buku baru dan belum boleh dipinjem sampai sebulan ke depan, dan Bumi Manusia-nya kosong, laris banget sepertinya. 2 novel yang akhirnya saya pinjam adalah, 2 novel ringan, karya populer yang bakal habis dalam satu malam dengan 2 atau 3 gelas kopi panas. Judulnya, Tea for Two dan satunya lagi, Marionette.

Dan benar juga. Setelah memutuskan membaca Tea for Two lebih dulu, saya menghabiskan malam penuh angin (bener lho, kemarin seharian sampai malam Jogja hujan angin yang gede-gede banget) ditemani Clara NG—pengarang Tea for Two—sampai menjelang pagi.


Seperti yang sudah saya singgung di atas, Tea for Two adalah novel pop yang ringan. Cocok dibaca saat santai dan tentunya, saat pikiran lagi suntuk-suntuknya sehingga menyengaja mencari bacaan ringan yang menghibur. Tea for Two bercerita tentang seorang wanita mandiri bernama Sassy yang bisa dikatakan sukses berkarir di usia muda. Cewek yang selalu enjoy dengan rambut pendek itu punya perusahaan ‘biro jodoh’ bernama Tea for Two. Perusahaan mak comblang. Mempertemukan orang-orang yang sebelumnya tidak saling mengenal dan mengantarkan mereka ke jenjang pernikahan. Kedengarannya, orang yang bekerja di perusahaan semacam ini adalah orang-orang dengan tipikal yang sama, yang mengagungkan cinta di atas segalanya. Tapi anehnya, Sassy sendiri yang merupakan direktur utama Tea for Two tidak percaya sama yang namanya cinta. Sampai suatu saat, dia kedatangan klien yang memintanya menjadi wedding organizer di pernikahannya. Ketika datang ke Tea for Two, kliennya itu mengajak salah seorang saudaranya, Alan. Dan dari situlah semuanya berawal. Sassy harus rela mengakui bahwa akhirnya dia percaya dengan cinta. Karena saat itu juga dia jatuh cinta pada pria tampan dan mapan bernama Alan. Love at first sight. Dan akhirnya mereka menikah. Tapi, jalan hidup setiap orang memang tidak bisa diramalkan. Rumah tangga yang dibangun Sassy jauh dari apa yang Sassy idamkan dan bayangkan sebelumnya. Suami tampan, mapan, dan highclass seperti Alan? Sepertinya tidak ada alasan yang dapat menghalangi punya kehidupan yang ideal. Tapi takdir berkata lain. Alan mulai berubah. Di hari ke tiga bulan madu mereka di Bali, Alan menampar Sassy karena sebuah masalah sepele yang dipicu rasa cemburu. Itu baru awal mula. Seiring berjalannya waktu, Alan yang ternyata punya sisi temperamental yang tidak bisa diprediksi semakin sering main tangan, menjadikan perbuatannya itu kemudian layak disebut KDRT, kekerasan dalam rumah tangga. Dan begitulah, masalah bertambah ketika akhirnya Sassy hamil sementara Alan semakin sering mempraktekkan KDRT, ditambah dengan kehadiran wanita selingkuhan Alan bernama Malla. Sampai akhirnya Sassy memutuskan bercerai dengan Alan. Sampai akhirnya Sassy berhasil keluar dari kungkungan Alan yang mencekiknya, dan kembali membangun kehidupannya yang sempat porak poranda.

Ada satu hal yang menarik di sini. Terlepas dari kisah Sassy dan Alan yang penuh masalah, sesungguhnya Clara NG sedang menyajikan pada kita sebuah deskripsi cinta dalam 2 sudut pandang yang berbeda. Melalui Sassy, Clara NG mula-mula mengajak pembaca untuk ‘dibuai’ manisnya cinta, seperti dalam paragraf yang ditulisnya sebagai pemikiran Sassy di awal cerita, ketika dia mulai jatuh cinta dengan calon suaminya:

“Bagi saya, cinta datang secara bertahap. Perlahan-lahan. Halus bergerak seperti sayap kupu-kupu yang bergetar lembut di dalam perutmu.”

Deskripsi cinta yang kedua, yang muncul dalam bentuk yang berbeda, dengan sangat kuat disiratkan Clara NG ketika rumah tangga Sassy mulai bermasalah dan Alan semakin membabi buta dengan KDRT nya. Bahwa, bahkan ketika Sassy hampir tidak mengenali Alan lagi sebagai Alan yang dulu penuh kasih sayang dan tidak pernah berhenti menghujaninya kata-kata cinta setiap hari, Sassy tidak pernah berhenti mencintai Alan. Tidak peduli seberapa sakit memar-memar di tubuhnya atau darah yang keluar dari hidung dan mukanya karena pukulan Alan. Di sini, Clara NG menyajikan deskripsi cinta yang kedua, bahwa cinta seperti narkoba. Cinta itu candu. Setengah mati orang menginginkan merasakan cinta, sekalipun ketika akhirnya berhasil dirasakan, cinta itu menimbulkan sakit yang luar biasa.

Jadi, itulah pelajaran yang saya dapat. Cinta selalu punya 2 sisi yang berlawanan yang harus selalu kita pertimbangkan. A coin with two sides. Hmm… bukan hanya cinta, sebenarnya. Semua hal di dunia ini pasti punya sisi buruk dan sisi baik, seperti mata uang yang selalu punya dua sisi. Tergantung bagaimana kita menyikapi ketika kita dihadapkan pada satu sisi sementara mungkin beberapa saat lagi mata uang itu akan berbalik dan menghadapkan kita pada sisi satunya.

Well, itu semua butuh kebijaksanaan, tentunya.

Comments

Popular Posts