Untuk Kamis
Selamat datang, Kamis.
Ijinkan terlebih dahulu aku melepas Rabu yang galau sebelum menyapamu, yang datang dalam tenang. Bahwa alam semestamu mendadak menyadarkanku pada sebuah realita yang selama ini terbungkus mimpi-mimpi. Menakutkan, mengingat mimpi-mimpi itu pernah terasa begitu indah. Saking indahnya, membuatku lupa bahwa aku adalah manusia lelap. Bahwa nyatanya memang tempatku bukan di sana. Bahwa kemudian aku terbangun dan dalam keterjagaan total detakmu menuntunku memulai sebuah renungan. Selepas malam, menyambut pagimu yang bertajuk Kamis, yang kuharap akan gerimis.
Lalu aku akan mulai bertutur tentang yang sejenak lalu memperkenalkan diri sebagai seorang aku.
Yang tiba-tiba berteriak lantang seiring datangmu. Sebuah teriakan bernada putus asa bahwa dia telah bosan dengan semuanya. Bosan untuk meminta, kukira. Seorang aku, yang beberapa saat lalu memperkenalkan diri padaku dalam rupa bercahaya dengan jiwa selembut sutera. Padahal, dia hanya bermain-main saat itu. Sebatas menunjukkan betapa dia bisa tegar melupakan apa-apa yang telah lalu. Seorang aku, yang sekarang tersungkur dengan wajah sembab air mata, memegang erat dada yang tampaknya habis sudah terkoyak lara. Seorang aku kemudian mulai bertanya tentang hakikat kehidupan. Egoku ingin menjawab dengan pasti, namun seorang aku telah lebih dulu mampu mengendalikan situasi. Seorang aku lantas lancar berujar, menguliahiku panjang lebar tentang kehidupan. Tidak, kupikir, sebenarnya cerita itu tidak lebih dari sekedar kisah singkat kehidupannya. Bukan milikku, bukan pula milikmu, Kamis, apalagi milik orang lain yang selama ini menonton di garis batas belaka.
Seorang aku memulai kalimatnya, bahwa faktanya, semua manusia sama. Tidak ada kata lain untuk mendeskripsikan sebuah awal mula kecuali sebuah titik tak kentara yang hampir kasat mata. Jauh dari kesan jernih, memang, tapi titik itu tak ubahnya adalah titik dimana semua cerita ini dimulai. Bahwa titik kecil itu, mengandung esensi kehidupan yang sejatinya sangat simpel untuk dirasionalisasikan. Hidup adalah air, dan kehidupan adalah alirannya. Seorang aku, tiba-tiba memperoleh kembali kekuatannya untuk mengusap air mata dan menatapku dengan senyum yang terkulum. Seorang aku meyakinkanku bahwa kehidupan akan senantiasa mengalir. Fasenya adalah fase kontinyu, bukan bagian-bagian yang terfragmentasi. Dia menuturkan dengan begitu gamblang, bagaimana beberapa saat lalu lagi-lagi dirinya bersinggungan dengan perasaan bersalah dan jijik pada diri sendiri atas awal mula kemunculannya di dunia ini. Dari mana datangnya air mata yang sempat menggantung di kelopaknya itu? Dari perasaan cemas berkepanjangan oleh ketidakkuasaan menampik bayang-bayang silam. Kisah seorang aku membiusku, memberikanku secercah harapan bahwa ternyata masih ada makhlukNya yang sepertiku.
Dan aku mengamini ketika seorang aku akhirnya berkata bahwa setiap fase kehidupan tidak mungkin terlewatkan. Takdir memang bukan ada di tangan kita, takdir adalah kuasaNya yang akan senantiasa menyisakan misteri besar bagi kehidupan. Samasekali bukan tugas kita untuk menguaknya dengan paksa sebelum tiba saatnya. Seorang aku berkisah tentang temannya yang menyodorkan teori tentang takdir, bahwa terciptanya takdir mewujudkan sebuah hukum wajib bagi manusia untuk mengisinya dengan keindahan. Namun seorang aku juga kemudian dengan jujur bercerita bahwa takdir, dalam ruang pikirnya yang bebas, adalah sebuah manifestasi terminal yang mencitrakan secara klimaks seberapa baiknya pilihan kita. Takdir ada di tanganNya, namun sebelum itu, kitalah yang menentukan takdir macam apa yang akan merengkuh kita.
Seorang aku menganalogikannya dengan persimpangan jalan. Seorang pengembara yang telah sampai pada titik percabangan yang mengharuskannya memilih satu di antara sekian ribu terusan, adalah insan yang paling dekat dengan takdir. Dia sadar total dengan apa-apa yang akan menjadi pilihannya, baik buruknya, kurang lebihnya.. Namun tetap saja ujung dari jalan manapun yang dipilihnya masih akan berupa tanda tanya, sebelum benar-benar dia mencapainya. Dan seperti itulah takdir.
Lalu karena kehidupan senantiasa mengalir, apakah alirannya macam sungai yang bakal bermuara ke samudera? Ah, ini rahasia Tuhan, seorang aku menjawab dengan seringai simpul. Aku, dalam taraf ini, tidak paham betul makna mimiknya itu.
Seorang aku beranjak, sebelum aku sempat bertanya keterikatan realisme kemengaliran hidup dengan abstraksi mimpi-mimpi. Apakah benar terkait pasti? Aku masih saja berharap tabir yang selama ini mengungkung mimpi-mimpi akan tersingkap sebentar lagi.
Dan apakah itu mengiring senjamu, Kamis?
Comments
Post a Comment